From My Mind, My Soul and My Heart

Tuesday, January 9, 2007

Televisi Teman atau Lawan?

Seiring dengan berjalannya waktu, berkembangnya teknologi dan ragam kepentingan dan kebutuhan masyarakat, televisi saat ini telah menjelma menjadi sosok penghibur, pemberi informasi, media komunikasi, media pemasaran dan media aktualisasi.
Tak luput dari itu semua ternyata televisi, memiliki satu karakter yang cukup berbahaya yaitu merupakan media kapitalisme. Melalui televisi, semua orang seolah diajak untuk berfikir mengedepankan materi, dari tidak tau produk brand A menjadi tau, dari sekedar menggunakan produk B menjadi tau produk sejenis produk B lainnya yang lebih ini dan itu-nya dari produk B. Dari tidak berniat mencicipi masakan jenis C jadi tertarik untuk mencoba, dan segala macam dari gak butuh menjadi butuh, dari engga ingin jadi ingin banget…
Itulah televisi, punya daya tarik magis yang sangat evektif untuk mengajak kita menjadi konsumtif. Seolah hal ini mewabah dan bahkan masyarakat kebanyakan pun menyadari dengan pasti adanya wabah ini, kadang sering kita dengar istilah “korban iklan”, "korban sinetron" yang sering jadi gurauan atau sindiran pada percakapan masyarakat umum. Berarti dapat ditarik kesimpulan bahwa secara sadar masyarakat aware adanya wabah yang ditimbulkan oleh televisi ini.
Wabah konsumtif ini juga dipicu dengan adanya tayangan- tayangan yang merekomendasikan tempat makan tertentu, barang- barang mewah, mobil- mobil keluaran baru dan lainnya yang bersifat ajakan untuk membeli sesuatu yang lebih menarik, lebih canggih, lebih memuaskan dan lainnya, namun intinya adalah strategi pemasaran bagi produsen dan penyuntikan pola konsumtif bagi pemirsa televisi. Untuk hal ini saya masih merasa nowhere untuk menyalahkan siapa yang salah apabila pola konsumerisme melaju semakin kencangnya saat ini.
Mau menyalahkan produsen, yang jelas tujuan utamanya adalah mencari keuntungan? ataukah menyalahkan penonton televisi? Sebaiknya mengambil jalan tengah dengan meletakkan semuanya dalam posisi normal, sepanjang yang dilakukan oleh para produsen tidak menyalahi norma- norma kemasyarakatan maupun keagamaan serta tidak mengajak masyarakat menuju kebatilan, so why not?tinggal pintar- pintarlah penonton mencerna mana yang perlu ia konsumsi dan ikuti mana yang tidak.

Namun yang menjadi masalah belakangan ini adalah gerak laju kapitalisme kaum pengusaha ini berlari terlalu kencang, sehingga tidak lagi berjalan sesuai dengan persyaratan jalan tengah yang saya sebut diatas. Mereka cenderung mematahkan norma- norma yang ada, dengan alasan adanya perubahan jamanlah, kebutuhan masyarakat akan realitaslah, sampai- sampai menggunakan senjata kebebasan seni sebagai alasan mendasar.

Saat ini tayangan televisi semakin gamblang dan transparan memaparkan fakta dan data, yang terlihat saking begitu transparan-nya sampai tidak mengindahkan kepentingan kelompok tertentu, dalam hal ini adalah anak- anak.
Gaya lari ngejar setoran ala kaum kapitalis ini, melaju kencang tanpa memikirkan dampak pada anak- anak. Pada tayangan kartun yang selama ini notabene-nya adalah tayangan untuk anak, ternyata banyak yang menyajikan adegan kekerasan bahkan nyerempet ke pornografi dan akhlak, let say kartun Shin chan, kita semua sependapat kalau tokoh Shin Chan itu sama sekali tidak mendidik, apakah wajar seorang anak TK mengintip rok gurunya?apakah wajar seorang anak TK suka meniru kebiasaan percintaan ayah dan ibunya?
Lalu tayangan sinetron remaja (SD, SMP dan SMA) yang ditayangkan petang dan kemungkinan masih jutaan pasang mata anak- anak sedang memelototi televisi, sementara tayangan sinetron itu bukan cuma menggambarkan, menurut saya ya, tapi juga memprovokasi anak- anak untuk bertindak amoral, let say, anak SMP pacaran trus cium- ciuman (maaf ya kasar kedengerannya soalnya gak dapet padanan kata lain yang cukup manis-red), trus penggambaran persaingan remaja putri memperebutkan cowok menggunakan cara- cara kekerasan, acara talk show ataupun komedi situasi yang menggunakan joke- joke sex yang vulgar, dan parahnya tayangan kekerasan kelas berat kayak smack down gampang saja dipertontonkan di jam rentan tersebut, dengan alasan rating tinggi, tanpa mengindahkan dampak gila yang ditimbulkannya.
Tragedi smack down yang cukup banyak menelan korban belakangan ini, semestinya menjadi pelajaran buat kita untuk lebih kritis berteriak kepada pemerintah supaya menjewer para pemain di industri pertelevisian untuk kembali ke jalur bisnis normal.
Saya lagi berfikir, mau sebanyak apa lagi korban yang jatuh karena tayangan televisi kalau kita tidak cermat, jikalaupun kita telah cermat mungkinkah anak- anak kita bisa tetap selamat dari bahaya wabah televisi? Toh pada tragedy smack down banyak anak yang orang tuanya telah cermat untuk melarang tayangan smack down dirumahnaya tetap saja menjadi korbannya.
Jadi tidak menutup kemungkinan apabila kita dan anak- anak kita telah kita cermati, dalam kehidupan sosial diluar rumah tetap saja bisa menjadi korban.

Maka pilihan semakin sulit bagi kita, namapaknya tak ada pilihan lain selain mendorong pemerintah untuk menertibkan industri pertelevisian agar kembali berjalan dengan tertib tanpa menyerempet merusak kepentingan lainnya apalagi menyerempet kepentingan perkembangan moral bangsa.

Dengan ragam informasi yang ditayangkan televisi yang tujuan mulia awalanya adalah untuk membuka cakrawala pemikiran penonton, namun belakangan ini semakin tidak relevan, mungkin sekarang bukan sebagai pembuka cakrawala julukan yang tepat untuk tujuan televisi tetapi pembuka pintu petaka belaka.
Jadi televisi teman atau lawan sih sebenarnya?

No comments:

Put Your Comment Here........