From My Mind, My Soul and My Heart

Friday, December 22, 2006

Poligami

Mmmmm...mumpung masih hangat- hangatnya issue poligami dan juga kebetulan hari ini sahabat- sahabat dari elemen pembela hak perempuan sedang berkumpul di Gedung Perwari Menteng untuk melakukan deklarasi Anti Poligami dalam rangka memperingati Hari Ibu, maka engga ada salahnya disini saya tempelkan salah satu tulisan dari LBH APIK yang memuat alasan mengapa kami kaum perempuan menolak praktik poligami, mungkin bisa jadi bahan renungan untuk kita semua....

Poligami sebagai Bentuk Kekerasan yang Paling Nyata atas Harkat dan Martabat Perempuan sebagai Manusia di dalam Hukum,Sosial Budaya dan Agama


Akhir-akhir ini marak pemberitaan seputar pemberian anugrah “Poligami Award” terhadap para suami yang dinilai “sukses” berpoligami. Wacana yang dikembangkan adalah adanya dikotomi poligami yang baik dan benar atau sesuai dengan 'ajaran' Islam dan sebaliknya poligami yang tidak baik atau tidak murni sesuai syariat. Wacana ini disatu sisi hanya mengekspos bagaimana poligami dilakukan oleh mereka yang berpoligami, tanpa sama sekali mempertimbangkan perspektif perempuan sebagai korban poligami. Disisi lain dikotomisasi baik-buruk, benar-salah dalam berpoligami mengaburkan masalah mendasar dari institusi poligami itu sendiri sebagai praktek diskriminasi dan kekerasan terhadap salah satu kelompok atas dasar perbedaan jenis kelaminnya.

Fakta di seputar poligami menunjukkan banyaknya penderitaan yang timbul akibat poligami. Penderitaan tersebut dialami baik terhadap istri pertama juga istri yang lainnya serta anak-anak mereka. Dari 58 kasus poligami yang didampingi LBH-APIK selama kurun 2001 sampai Juli 2003 memperlihatkan bentuk-bentuk kekerasan terhadap istri-istri dan anak-anak mereka, mulai dari tekanan psikis, penganiayaan fisik, penelantaran istri dan anak-anak, ancaman dan teror serta pengabaian hak seksual istri. Sementara banyak poligami dilakukan tanpa alasan yang jelas (35 kasus). Sedangkan dari pemberitaan yang ada, poligami mendorong tingginya tingkat perceraian yang diajukan istri (gugat cerai) (Warta Kota, 12/4/03).

Praktek poligami sendiri pada hakekatnya merupakan satu bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Pasal 1 CEDAW yang diratifikasi melalui UU No. 7 Tahun 1984 telah dengan tegas menyebutkan, diskriminasi terhadap perempuan berarti setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasam pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan.
Sebagai negara yang telah melakukan ratifikasi CEDAW (The Convention on The Elimination of Discrimination Againts Women), Indonesia wajib memberikan perlindungan bagi perempuan dari berbagai bentuk diskriminasi, baik di lingkungan keluarga, masyarakat maupun negara. Dalam kasus poligami sebagai bentuk diskriminasi dan suatu bentuk kekerasan terhadap perempuan ini, negara tidak saja mendorong untuk mengahpuskannya, tapi justru mengukuhkan institusi poligami tersebut lewat aturan perundangan yang ada.

Disisi lain, Dengan mengakomodir praktek poligami lewat UUP ini pada hakekatnya negara telah mengedepankan wacana tafsir agama yang dominan dari kelompok-kelompok agama tertentu.
Dalam Pasal 3, 4 dan 5 UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, pada pokoknya menyebutkan bahwa seorang suami boleh beristri lebih dengan izin Pengadilan. Izin ini dikeluarkan bila istri yang bersangkutan sakit dan tidak dapat melayani suami, tidak dapat memiliki keturunan atau tidak mampu menjalankan tugasnya sebagai istri karena alasan lain. Dalam berpoligami juga di haruskan adanya persetujuan istri/istri-istri. Namun persetujuan istri ini tidak diperlukan bila mereka tidak mungkin di mintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau karena sebab-sebab lain.
Pernyataan pasal tersebut mencerminkan bahwa Perkawinan semata-mata ditujukan untuk memenuhi kepentingan biologis dan kepentingan mendapatkan ahli waris/keturunan dari salah satu jenis kelamin, dan diiringi dengan asumsi bahwa salah satu pihak tersebut selalu siap sedia atau tidak akan pernah bermasalah dengan kemampuan fisik/biologisnya Ketentuan ini telah menempatkan perempuan sebagai “sex provider” dan secara keseluruhan mencerminkan ideologi ‘phallosentris’ , yakni sistem nilai – melalui ketentuan ini dilegitimasi- yang berpusat pada kepentingan/kebutuhan sang phallus (penis).
Kami mencatat ada beberapa alasan mendasar lainnya perlunya penghapusan terhadap praktek poligami:

1. Poligami merupakan bentuk penampakan konstruksi kuasa laki-laki yang superior dengan nafsu menguasai perempuan, disisi lain faktor biologis/seksual juga mempengaruhi bahkan demi prestise tertentu. Namun yang nampak dari kesemuanya itu bahwa poligami telah menambah beban kesengsaraan perempuan terhadap sekian banyak beban yang sudah ada, dan jika itu kenyataannya maka poligami adalah konsep penindasan terhadap perempuan yang tidak berpihak kepada rasa kemanusiaan dan keadilan.

2. Selain itu Poligami juga merupakan bentuk subordinasi dan diskriminasi terhadap perempuan, hal mana di dasarkan pada keunggulan/superioritas jenis kelamin tertentu atas jenis kelamin lainnya; Pengakuan yang absah terhadap hirarki jenis kelamin dan pengutamaan privilis seksual mereka atas yang lainnya; Ketentuan ini sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip persamaan, anti diskriminasi serta anti kekerasan yang dianut dalam berbagai Instrumen Hukum yang ada. (UUD 1945, UU HAM, UU No.1/84, GBHN 1999, Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan);

3. Realitasnya banyak kasus poligami yang memicu bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) lainnya yang dialami perempuan dan anak-anak, meliputi kekerasan fisik, psikis, seksual dan ekonomi; Poligami sendiri merupakan bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang dilegitimasi oleh hukum dan sistim kepercayaan yang ada di masyarakat;

4. Adanya fakta bahwa sejumlah perempuan menerima poligami tidak menghilangkan hakekat diskriminasi seksual dalam institusi poligami tersebut; dan Penerimaan mereka terhadap poligami adalah bentuk ‘internalized oppression’ , yang mana sepanjang hidupnya perempuan telah disosialisasikan pada sistem nilai yang diskriminatif.


Menyikapi rentannya posisi perempuan di masyarakat dan negara, maka sosialisasi mengenai perlindungan bagi perempuan dari segala bentuk diskriminasi, khususnya poligami masih harus dilakukan secara terus menerus. Untuk itu dalam rangka memperingati Hari Ratifikasi CEDAW, 24 Juli 2003, LBH APIK Jakarta, sebagai lembaga yang mendorong penghapusan kekerasan terhadap perempuan merasa perlu memberikan pandangannya kepada publik mengenai poligami dan diskriminasi terhadap perempuan, berdasarkan pengalaman yang didapat selama mendamping perempuan korban kekerasan dan ketidakadilan. Serta mendorong terwujudnya perundang-undangan yang memberikan perlindungan perempuan dari praktek poligami.
Untuk itu, kami menyerukan kepada semua pihak, khususnya pada pembuat kebijakan:
Agar segera membuat langkah-langkah kongkret untuk menghapuskan setiap bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan, khususnya di bidang perkawinan dengan mengurangi praktek poligami di masyarakat.

Mempercepat amandemen Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
Mengkritisi setiap tafsir ajaran agama yang diskriminatif terhadap perempuan dan sebaliknya perlu segera di sebarkan penafsiran ajaran agama yang lebih setara dan adil gender.
Menjadikan UU No. 7 Tahun 1984 sebagai acuan dalam penyusunan setiap kebijakan maupun dalam menyelesaikan kasus-kasus yang berkaitan dengan kehidupan kemasyarakatan, khususnya yang mengenai perempuan.
Menciptakan masyarakat yang bebas poligami dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya terhadap perempuan.


Disampaikan dalam acara Konfersi Pers LBH APIK Jakarta, Kamis 24 Juli 2003 di Hotel IBIS Thamarin Jakarta

Kemerdekaan Perempuan



“…Dan walaupun saya tidak beruntung sampai ke ujung jalan itu, walaupun saya sudah akan patah di tengah jalan; saya akan mati dengan bahagia. Sebab jalan tersebut sudah terbuka dan saya turut membantu meretas jalan yang menuju ke kebebasan dan kemerdekaan perempuan Bumiputra.” (Surat Kartini, Jepara, 7-10-1900)

Rasanya malu hati bila membaca penggalan surat RA Kartini diatas, beliau adalah wanita zaman dulu yang hidup dalam kondisi yang memiliki keterbatasan ruang gerak, pendidikan, informasi dan teknologi, namun beliau sudah memiliki tekat yang luar biasa untuk berjuang demi kemerdekaan kaum perempuan.
Sementara beberapa perempuan- perempuan era sekarang yang jauh lebih beruntung karena memiliki ruang gerak yg lebih luas, berkesempatan mengenyam pendidikan yang tinggi, akses informasi yang mudah serta memiliki kemapanan teknologi, masih saja santai bahkan seolah kurang peduli dengan kepentingan kemerdekaan kaumnya, bahkan kemerdekaan dirinya sendiri.
Saya engga habis fikir dengan sekumpulan perempuan era sekarang yang kebanyakan membunuh kemerdekaannya sendiri. Bayangkan banyak kaum istri yang tidak berdaya untuk bersikap meskipun dihadapan suaminya, bahkan untuk sebagian wanita “mata duitan”, merasa tidak perduli akan kemerdekaannya sendiri, mereka menjadi budak materi dan ujung-ujungnya sama saja yakni memenjarakan nurani dan kemerdekaan hatinya. Dan kebodohan beberapa kaum perempuan ini, mereka diperbudak oleh brand- brand tertentu, mereka berkumpul beramai- ramai saling menunjukan keloyalitasan mereka terhadap benda mati, kebanyakan benda mati yang mereka tuhankan adalah benda bernama belian sekian karat…, tas brand***, sepatu brand ***,mobil kluaran *** dan lainnya, demi keloyalitasan ini mereka rela untuk menjadi buta dan tuli untuk tau dari mana sang suami menyediakan dana untuk hobby istrinya menuhankan benda- benda mati itu. Inilah gambaran perempuan -perempuan kapitalis konsumtif yang tanpa sadar telah membunuh kemerdekaannya sendiri.
Dan ada yang juga sama parahnya, ada sekelumit perempuanyang tidak segan- segan menyakiti perempuan lain dengan cara merebut dan menghancurkan kebahagiaan rumah tangga perempuan lain hanya karena alasan materi, “ah…yang penting suami dia suka sama saya, siapa suruh suka sama saya, kalo saya sih cuma suka uangnya dia aja”, ujar seorang perempuan simpanan pejabat, di sebuah tayangan televisi. Dan disitulah kita bisa menilai kalau nurani perempuan itu sudah mati teracuni oleh penjara materi.

Banyak pula tingkah polah kaum perempuan era sekarang yang seolah bangga dengan kemerdekaannya terenggut,
“saya iklas suami saya menikah lagi ini wujud bakti saya padanya,karena saya pun yakin beliau mampu menafkahi kami”, ujar perempuan yang baru saja dimadu suaminya.
Dalam hati saya berpikir, bagaimana mungkin wanita ini rela diinjak-injak haknya demi mengabdi pada suaminya. Dan menurutnya masalah selesai hanya karena hidupnya tetap dinafkahi suaminya. Mestikah kaum wanita mengabdi pada suaminya sampai harus membunuh nuraninya sendiri? Saya rasa itu adalah salah satu bentuk penindasan, penindasan apapun yang dilakukan suami merupakan perenggutan kemerdekaan.Saya menyebut perempuan semacam ini adalah kaum pasrah.

Mungkin kita juga sering melihat banyaknya perempuan yang menjadi objek pornografi dan pornoaksi, beberapa perempuan rela menanggalkan pakaian dan kehormatan mereka hanya karena terikat kontrak dan tertantang oleh tawaran kemasyuran. Perempuan- perempuan ini mungkin tidak sadar bahwa mereka tidak mampu mempertahankan kehormatan mereka.Sungguh sudah kehilangan akal sehat…..


Bukan cuma sekelumit perempuan yang konsumtif kapitalis, perempuan pasrah dan golongan perempuan yang kehilangan akal sehat lainnya saja yang membuat perjauangan RA Kartini menjadi menguap begitu , permerintah pun kerap kali menempatkan perempuan dalam kasta ke dua dalam masyarakat, contoh saja dalam hal untuk beberapa urusan di Bank saja perempuan harus meminta persetujuan suami, lalu apakah menurut pemerintah kaum perempuan itu tidak cakap dimata hukum?

Belum lagi lengahnya pemerintah menyikapi praktik penjualan perempuan, seolah pemerintah tutup mata melihat kenyataan ini. Dimana perempuan- perempuan Indonesia dijadikan objek pemuas nafsu di negara orang, dan perempuan Indonesia teraniyaya serta terzalimi di negara orang. Belum lagi nasib para TKI yang kebanyakan kaum perempuan, dan keselamatan mereka pun sangat terancam disana. Rasanya perjuangan RA Kartini hancur berkeping- keeping kalau sudah begini. Mungkin inilah yang bisa saya sebut sebagai penjajahan terhadap perempuan di era modern.
Ini adalah pr untuk kaum perempuan sendiri untuk terus memperbaiki diri dan menuntut hak kita. Karena dari rahim dan perjuangan kita lah Allah menitipkan masa depan bangsa kita.


MUC Legal Councel’s Room, 14 Dec 2006, 17.32
Erry Tri Merryta Riyadi

Thursday, December 21, 2006

Kaulah Orangnya



Waktu kau bilang kau suka,

Ku terpana tak kuasa

…………

Bukanku tak suka,

Tapi sungguh ‘ku tak kira




Hasratku berkata tidak,

Tapi firasatku bilang :

“ Kau lah orangnya!!”



Entah siapa yang menunjukmu

Untuk hadir disini....

Entah malaikat mana pula

Yang membujukku

Untuk bilang “Iya”



Saat itu ‘ku anggukkan kepala

Tanda setuju

Untuk membangun mimpimu

Walau hasratku tetap menolakmu


…………..



Dan setelah berkali- kali musim

Kita lewati,
ternyata kau masih disini



Dan sekarang hasrat dan hatiku telah sepkati,

Bahwa “Kau lah orangnya!!”



Erry Tri Merryta
21 October 2003
(tulisan yang terinspirasi oleh seorang Mochamad Taufik “Tori” Riyadi)

Pelangi di Peron 9



Peron 9, tempatku biasa terpaku belakangan ini menjadi lebih cerah
Hampir tiap pagi ada pelangi melintas
Seolah di tiap lapisnya ada gelimangan bintang kecil keemasan

Setiap pelangi itu bersinar
Aku terpaku dan ter?

Kali ini pelangi itu belum muncul.

Peron 9 jam 08.30 pagi……….
Tak seperti biasanya,
Masih gelap dan sumpek rasanya

Peron 9 jam 08.47 pagi
Tak secercah tanda- tanda kehadiran pelangi ku dan sejumput bintang keemasannya disini.

Peron 9 jam 08.59 pagi
Mmh… sial, bau pesing mengusik hidungku

Peron 9 jam 09.05 pagi
………………………

Peron 09.47 pagi
Sudah jelas aku sekarang terlambat kuliah,
Dan pelangi berbintang keemasanku tak kunjung muncul

Peron 9 jam 09.51 pagi
Tuhan!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
Pelangi berbintang keemasanku dirampas orang!!



Erry Meryta Riyadi
(MUC, Legal Counsel’s Room, 21 Nov 2006, 16:48)

Menemani Hujan

Ketika pagi hari ini hujan,
aku lebih memilih untuk pergi ke halaman
untuk menikmati percikan air hujan yang menggelitik kaki telanjangku,
Tetesan air hujan yang melepekkan rambut kecoklatanku pun terasa sangat menyejukkan,
Beberapa sambaran halilintar diaatas awan gelap sana membuatku smakin terangsang untuk menari semakin lincah di atas rumput hijau ini.
Beberapa pohon tampak layu dan menrunduk terkena tamaparan air hujan yang makin lama makin lebat,
dan...ahhhh...aku semakin menikmatinya,
peduli setan dengan daun- daun keriput yang merunduk itu,
aku akan tetap menari,
menghentakkan genangan air hujan,
biar semua tergagap melihat kelincahanku bermain hujan,
biar semua berkomentar miring,dasar gadis sinting!!!!!!!!!
Aku adalah aku,
biar hanya aku yang akan menemani hujan...
Karena hujan seindah ini tak
datang tiap hari...


Erry Merryta Riyadi(MUC, legal Counsel's Room 1 December 2006, 15:05)

Calulla

Calulla,
Lebih dari sekedar manis gula- gula,
sosoknya selalu membawa derai tawa,
sarat akan sebuah makna
yang senantiasa disebut bahagia

Calulla,
Jauh dari sekedar pijar bintang
tetapi melampaui fantastis -nya sebuah bintang jatuh
yang kaya akan sebuah harapan

Calulla,
Ditiap kesan kerling matanya
menampilkan kilauan
akan sebuah kedamaian
dari sebuah cinta tanpa syarat

Calulla,
Tiap sentuhannya
seolah meninggalkan kelembutan
selembut cashmere,
secerah satin
dan sepekat beludru

Calulla,
Bukan sekedar cita- cita,
harapan,
impian dan
kata- kata cinta,
ku titipkan masa depanku,
hari tuaku dan surgaku



Erry Tri Merryta Riyadi
Jakarta, 21 December 2006, 14:27

Ini salah satu puisi baru saya, ini adalah salah satu ekspresi kecintaan saya pada putri sematawayang saya, Calulla. Ia begitu special buat saya, ia adalah power supply buat saya, saya begitu beruntung karena Allah menitipkannya pada saya.

BUKAN PEREMPUAN BIASA


BUKAN PEREMPUAN BIASA


Menu makan harian, belanja bulanan, sekolah anak, ke dokter anak, dateline report, annual meeting bla…bla…bla…
Itu lah “have to do”-nya seorang ibu pekerja zaman sekarang, dimana ritual belanja sudah besanding sejajar dengan ritual annual meeting.
Bukan hal aneh untuk saat ini melihat seorang ibu harus berkejar- kejaran dengan waktu untuk memburu tugas domestic maupun tugas profesionalitasnya, dan waktu seolah bergulir tiada henti. Seolah di tangan para ibu modern itu semua bisa teratasi, dari menu makan harian hingga propinsi, semua sudah dibuktikan jika wanita mampu menggerakannya.
Kadang tak terbayang bagaimana dalam waktu 24 jam semua tugas mampu berjalan dengan 2 tangan, 2 kaki dan satu otak dari seorang manusia berbungkus kelamin perempuan, yang berlomba lari dengan roda kehidupan semraut kota besar, dimana waktu 24 jam terasa begitu singkat seolah membias begitu saja.
Namun bukan hal yang aneh juga ketika kita melihat pada kenyataan ternyata banyak perempuan- perempuan yang ternyata mampu menjalankan semuanya.
Kadang pekerjaan mengatur rumah tangga dianggap hal mudah yang bisa dijadikan pekerjaan sambilan, padahal mengatur rumah tangga adalah pekerjaan yang bisa memakan waktu 24 jam penuh, dan bagi ibu bekerja, kegiatan mengatur rumah tangga harus dipadatkan agar bisa disandingi dengan tanggungjawab kantor, dan mendistribusikan tanggungjawab kepada pembantu ataupun baby sitter adalah jalan keluar yang biasanya dipilih.
Ada hal- hal domestik yang tetap saja tidak mampu didistribusikan, karena bagaimanapun handalnya pembantu rumah tangga maupun baby sitter tidak akan mampu memberi warna cinta dalam rumah tangga. Cinta dan keuletan seorang ibulah yang mampu membangun rumah tangga yang bahagia dan utuh, dimana bukan rahasia lagi bahwa anak-anak yang berkualitas mayoritas dicetak oleh keluarga yang bahagia dan utuh. Karena secara psikologis anak- anak itu tumbuh secara utuh. Jadi peran ibu bukan hal sepele dalam rumah tangga, karena menyangkut asset bangsa yaitu anak- anak.

Dalam urusan pekerjaan yang bersifat profesionalitas, tak jarang kaum perempuan ternyata lebih unggul. Berdasarkan beberapa riset yang ada menunjukkan bahwa prestasi kerja di perkantoran banyak didominasi oleh kaum perempuan.
Dan tak heran pula ketika di dunia kampus, banyak gelar mahasiswa berprestasi yang dikantongi oleh kaum perempuan, entah karena perempuan lebih rajin dan lebih tertib yang membuat fenomena itu menjadi hal yang lumrah di universitas.

Seperti dipaparkan pada majalah Tempo edisi minggu ini (sorry bukan promosi cuma mau kasih sample saja), disana dipaparkan beberapa contoh perempuan Indonesia yang memiliki profesi dan keuletan menjalankan profesi langka dan menantang, yang mungkin selama ini dalam benak semua orang dianggap bahwa profesi itu only for man, tapi kenyataannya perempuan- perempuan mampu mengerjakan semuanya dan mampu mengukir prestasi disana. Dari mulai profesi polisi, bupati, penerbang, sampai buruh panggul, ternyata mampu dikerjakan oleh perempuan.
Tidak ada yang tidak mungkin untuk kaum perempuan untuk saat ini, kita semua punya kemampuan yang sama dengan laki-laki. Banyak institusi pendidikan yang telah fair untuk mengundang kaum perempuan untuk bersaing dengan laki- laki dalam hal pendidikan.

Berarti kita telah melangkah lebih maju saat ini, kita telah memiliki kesempatan untuk membuktikan kompetensi kaum kita. Jadi kita memiliki argument yang kuat untuk menjungkirbalikkan pandangan “perempuan = dapur, sumur dan kasur” yang selama ini direkam dalam pemikiran masyarakat umum.
Tugas untuk kita semua kedepan adalah terus berjuang untuk keselarasan rumah tangga kita sebagai amanah dari Allah dan senantiasa menggali potensi diri kita untuk membuktikan bahwa “kita bisa”. Dan apapun bidang yang kita geluti buktikan bahwa kita bukan perempuan biasa!



(Erry Riyadi, Diantara semraut-nya Jakarta dan dengan semangat menjelang hari ibu, 19 Desember 2006, 11:53)

SELAMAT HARI IBU


IBU


Begitu kompleks bagi kita untuk menjabarkan besarnya arti Ibu dalam kehidupan manusia. Setiap mendengar kata Ibu, maka yang terlintas dalam benak kita adalah sesosok orang penuh kasih, dan bagi sebagian orang berfikiran bahwa Ibu dianggap sebagai ikon kasih sayang, yang sarat akan dekapan kasih, kelembutan dan kedamaian.
Pandangan tentang ibu tidak selesai pada kondisi perempuan yang telah bersuami dan beranak, jika dilihat lebih jauh, sosok perempuan bersuami dan beranak itu hanyalah sebuah baju yang dikenakan oleh kaum Ibu, sebenarnya lebih dari itu semua ada begitu banyak pikulan yang harus ditanggung di pundaknya. Mungkin pandangan yang lebih tepat kepada Ibu adalah mahluk perkasa berhati baja dan dengan beberapa pasang tangan.

Seorang ibu senantiasa dituntut untuk menunaikan kewajibannya yaitu menjalankan rumah tangganya, melayani suami dan mendidik serta merawat anak, namun tidak sesimpel itu pelaksanaannya.
Pekerjaan mengatur rumah tangga saja bisa menyita waktu 24 jam, dari mulai mencuci, memasak, belanja, menyusun neraca pengeluaran, ataupun menata rumah, itu semua bukan pekerjaan singkat dan mudah, sifatnya yang menjadi rutinitas makin membuat pekerjaan ini begitu melelahkan dan membosankan. Untuk sebagian Ibu yang bernasib baik dapat membayar jasa pembantu rumah tangga untuk membantu menyelesaikan pekerjaan, itupun bukan berarti sang Ibu bisa bersantai dan berbebas tugas, ia tetap harus melakukan kewajiban pemantauan atas pekerjaan para pembantunya. Dan penggunaan jasa baby sitter pun semakin marak di kalangan orang yang berpenghasilan cukup, namun tetap saja sosok Ibu yang paling diharapkan oleh sang anak, pola asuh seorang ibu tak bisa digantikan oleh apapun, dan tatib bekerja bagi para baby sitter ini pun tetap datang dari sang ibu.
Untuk urusan melayani suami, tentu tidak bisa didistribusikan kepada siapapun, bahkan dalam ajaran agama Islam disebutkan bahwa perempuan dilarang keras menolak permintaan layanan seksual yang diminta suaminya kecuali perempuan tersebut dalam kondisi sakit lelah dan sebagainya. Ini membuktikan bahwa seorang Ibu yang berbaju ganda sebagi istri memiliki kewajiban absolute untuk tetap melayani suami. Sesibuk dan sepadat apapun tugas Ibu, tugas ini tetap merupakan menu wajib yang harus dijalankan oleh seorang ibu.
Masalah pengurusan anak, tidak perlu ditanyakan lagi, jelas fungsi Ibu sangat optimal disana, mengingat pada diri seorang Ibu memang telah dititipi amanah oleh Allah untuk menyampaikan ASI kepada buah hati mereka sebagai amunisi dasar bagi sang anak untuk kuat menghadapi hidup, kemudian hanya pada tubuh seorang Ibu pulalah ditempatkan rahim sebagai kantung awal kehidupan bagi seorang anak.
Mengapa hanya kaum Ibu yang dititipkan itu semua? Mengapa bukan kaum laki- laki yang notabene-nya memiliki tubuh lebih kuat dan lebih perkasa yang dititipi amanah itu? Jawabannya hanya satu yaitu karena seorang Ibu memiliki hati yang lebih lapang untuk mencinta, memberi kasih dengan segenap kelembutan. Ternyata bukan hanya sekedar tubuh yang kuat dan kekar yang diperlukan untuk memikul amanah ini.

Tugas berat itu kadangkala harus dibagi dengan tugas mencari nafkah, pada era sekarang tugas mencari nafkah bukan saja diemban oleh kaum laki-laki sebagai kepala keluarga. Dan dengan alasan yang begitu mulia pula, seorang Ibu ikut terjun mencari nafkah membantu pelaksanaan tugas suami agar roda kehidupan rumah tangga mereka tetap berjalan dengan baik, kebutuhan anak- anak tetap terpenuhi dan yang pasti kebutuhan aktualisasi si Ibu juga tetap terpenuhi.
Dan makin bisa terbanyangkan berapa banyak cabang pikiran yang ada di kepala seorang Ibu, dan semuanya harus berjalan dengan serentak.
Tidak semua Ibu beruntung memiliki pendapatan lebih untuk membayar jasa pembantu rumah tangga ataupun baby sitter, sehingga mereka harus menjalankan semuanya sendiri. Bukan hal yang aneh pula bila seorang Ibu bekerja harus turut mengerjakan pekerjaan rumah tangganya sendiri, memenuhi keperluan suami dan mendidik anaknya sendiri. Kita bisa menemui di jalan – jalan, di angkot- angkot, di bis kota- bis kota, seorang Ibu berwajah lelah, beratribut kantor dilengkapi tas kerja di tangan kanan dan tangan kiri menjinjing keranjang sayuran, sambil bergelayutan di padatnya kendaraan umum, dan sesampainya dirumah merekapun sudah dinanti dengan segudang pekerjaan rumah tangganya.
Untuk kehidupan pedesaan, kita juga tak jarang melihat Ibu- Ibu di pagi buta sudah mencari air, memasak, lalu berangkat ke sungai untuk mencuci dan ketika matahari mulai tinggi mereka berladang sampai matahari terbenam, setelah itu mereka kembali kerumah untuk menyiapkan sajian makan malam untuk keluarga tercinta.
Pemandangan serupa juga dapat kita temui di pasar- pasar, bahkan di ruas jalan tol menjelang dini hari kita bisa menyaksikan mobil- mobil bak terbuka yang dipenuhi kaum Ibu yang berdiri berdesakan dengan bahan sayur- mayur yang akan dijual ke pasar, mereka begitu tegar, berdiri berjam- jam diatas mobil bak terbuka menerjangang angin malam. Dan sepulang dari berjualan mereka pun telah dinanti dengan segudang tugas rumah tangga, tugas melayani suami dan mendidik anak- anak.
Mungkin kekaguman kita terhadap sosok Ibu bisa kita tambahkan bila kita membayangkan bagaimana beratnya mereka membawa bayi yang kian hari kian membesar dalam perutnya selama 9 bulan?dan bila saatnya tiba maka mereka pun harus kembali berjuang mengeluarkan bayi itu dari dalam perutnya, pernahkan kita membayangkan betapa sakitnya mengeluarkan benda sebesar bayi dari dalam tubuh?tak jarang dari mereka akhirnya merelakan nyawanya karena sudah tak kuat meneruskan usaha keras mereka untuk mengeluarkan bayi dari rahimnya. Sungguh tugas yang berat dan beresiko tinggi.

Masih banyak cerita perjuangan sehari- hari seorang Ibu yang bisa kita temui dimana saja, dipinggir jalan, di warung- warung emperan, di terminal, di mal, di kantor, di rumah sakit, dimana saja kita bisa mencermati bahwa begitu kompleksnya tugas yang diemban oleh seorang Ibu, apalagi mereka- mereka yang memang hidup dalam keluarga yang kekuarangan secara materi yang mana fasilitas atau kemudahan apapun sulit untuk didapat. Yang pasti apapun latar dari cerita perjuangan hidup mereka, menyandang dan menjalankan predikat sebagai Ibu ternyata jauh dari kesan mudah.

Namun ironisnya, di tengah kompleksnya perjuangan hidup seorang Ibu, masih banyak hal- hal yang sama sekali mengesankan tidak menghargai adanya perjuangan-perjuangan itu. Banyak hak-hak kaum Ibu yang disunat, bahkan perlindungan terhadap kaum Ibupun dipertanyakan. Hal ini dapat dibuktikan dengan maraknya perselingkuhan yang dilakukan oleh kaum suami dengan berbagai alasan, penganiayaan fisik kaum Ibu dalam rumah tangga bahkan kekerasan- kerasan non fisik yang diterima oleh kaum Ibu dalam rumah tanggapun masih menjadi pemandangan hari- hari dan tak kalah ketinggalan praktik poligami ‘liar’ pun tumbuh subur dengan mengatasnamakan ajaran agama.
Apakah itu apresiasi yang tepat bagi kaum Ibu?apakah pantas perjuangan hidup mereka dibayar dengan hal- hal demikian?
Di hari ini, hari Ibu mari kita beri mereka kado terbaik untuk perjuangan mereka, sebuah penghargaan dengan tulus bahwa kita harus menentang segala bentuk kejahatan apapun yang mengancam mereka. Dukung sosialisasi UU KDRT dan mari kita sokong pemerintah merevisi UU Perkawinan.



Selamat Hari Ibu Untuk Semua Kaum Ibu Tercinta, 22 Desember 2006, Erry Tri Merryta Riyadi.

Tuesday, December 19, 2006

Puisi- Puisi Saya

mmm....membuat puisi sebenarnya bukanlah hal yang baru buat saya, selain suka membacanya saya suka sekali mencoba menuangkan pikiran saya kedalamnya, ya...walaupun masih sangat sederhana, tapi saya cukup puas dengan puisi- puisi buatan saya. Walau mungkin belum terlalu indah, tetapi inilah isi hati dan kepala saya. Hari ini, seorang sahabat saya, Gita, berkomentar kalau dia sangat terinspirasi dengan salah satu puisi buatan saya yang pernah saya post di blog friendster saya. Maka saya berfikir, untuk mengepost puisi- puisi saya lainnya disini, semoga dapat dinikmati oleh teman- teman dan semoga ada Gita- Gita yang lain yang juga terinspirasi dengan tulisan saya.

AKAN


Akan adakah suatu pagi
Dimana dadaku tak lagi sesak
karena sepi.......

Akan datangkah hari
Dimana aku lega
Karena ku tau harus menunggu siapa......

Akan hadirkah suatu malam
Dimana aku ‘kan nyenyak
Di pelukan hangat seorang kekasih......

Ku Cuma berkelakar
Andai saat- saat itu tiba,
Aku pasti girang tak terkira
Karena kaulah yang pasti ada disana…



Bandar Lampung,13 Oktober 2003
Erry Merryta

Sunday, December 17, 2006

Selamat Hari Buruh Migran Internasional!!!!!!!!!!!!!!




Hari ini 18 Desember 2006, hari buruh Migran Internasional, saya cuma make a wish dalam hati, semoga saja TKI Indonesia memperoleh kehidupan dan perhatian lebih dari pemerintah. Selama ini para pahlawan devisa kita itu adalah kaum terjajah dan teraniaya, mereka terancam keselamatannya di negeri orang, dipalak di negeri sendiri dan tak dipedulikan seolah sampah.
Kalau mengikuti hati saya, saya sangat sedih melihat kenyataan ini, mengapa rakyat kita harus cari makan di Negara orang, jadi “bedinde” doang lagi, apakah sesuap nasi, selembar pakaian dan sepetak rumah layak tak mampu disediakan oleh bangsa besar ini kepada rakyatnya?, hingga rakyatnya harus woro- woro “mbabu” di Negara orang?
Saya nangis kalau membayangkan itu, bayangkan rekan-rekan TKI itu sebelum berangkat “mbabu” saja sudah diperah di negaranya sendiri, kebanyakan dari mereka, maksud saya mereka-mereka yang kurang beruntung harus hidup setengah gak layak di penampungan, keluar duit banyak meskipun untuk buang hajat dan hidup empet-empetan kayak ayam yang siap dipotong, itu masih di Negara sendiri, belum dikirim…Pas dikirim, beberapa dari mereka yang engga beruntung, dapet majikan yang kejam berhati tiga perempat iblis, yang rela nyiksa, memperkosa, gak ngasih makan dan yang parah gak digaji, Tuhaaaaan….
Dan nasib buruk gak sampai situ aja, ketika pulang pun mereka harus nerima perlakuan kejam pula dari bangsanya sendiri, Terminal III, adalah momok bagi TKI, disana mereka di palak dan di preteli.

Betapa kompleksnya penderitaan mereka, saya membayangkan saja sudah merinding, kenapa Pemerintah belum melakukan action yang berarti?Saya engga pernah mimpi kok kalo Perintah harus menjadi superman mendadak, saya cuma berharap pemerintah sedikit saja memberi perhatiannya, minimal mulailah tertibkan Terminal III, hentikan pemalakan dan penjarahan TKI disana, mereka adalah pahlawan devisa kita, merekalah korban ketidak berhasilan bangsa ini menghidupi dan memajukan mereka, mengapa mereka harus kembali menjadi sapi perah di terminal kepulangan mereka?Haruskah kita budek dan buta melihat kenyataan ini?


Selamat Hari Buruh Migran Internasional, 18 Desember 2006, Legal Counsel Room, 12:39

Friday, December 15, 2006

Prakata

Assalamualaikum...........

Hai semua, saya pemain baru nih disini, jadi mohon maaf sekiranya masih kliatan compang camping gini blog saya.

Saya bukan penulis handal ataupun penulis berbakat, saya cuma ingin mengeluarkan uneg- uneg saya diblog ini.
Dalam blog saya mungkin teman-teman akan banyak menemukan tulisan mengenai perempuan dan anak- anak, karena itulah interest saya. Entah karena saya adalah perempuan dan seorang ibu, yang pasti dalam kehidupan nyata saya masih sering melihat hak- hak perempuan dan anak- anak masih "dikebiri".
Semoga blog ini bisa membantu memberikan informasi yang dibutuhkan untuk perjuangan kaum perempuan dan anak- anak Indonesia.

Sejauh ini baru nilah yang bisa saya lakukan, semoga kedepannya saya bisa melakukan yang lebih baik dan lebih kongkrit, amien.............

Wassalamualaikum,
Erry Tri Merryta Riyadi

Put Your Comment Here........