From My Mind, My Soul and My Heart

Friday, January 12, 2007

CERMIN PEREKONOMIAN NEGARA MELALUI PENDIDIKAN DAN KEBERADAAN BURUH ANAK



Menurut data pemerintah, terdapat sekitar 4 juta anak berusia antara 13-15 tahun di Indonesia tidak bersekolah, sekitar 1,5 juta usia 10-14 tahun masuk ke dalam angkatan kerja. Sebagian dari anak-anak tersebut beresiko terlibat dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.

Anak putus sekolah pada tahap sekolah dasar sebahagian besar disebabkan oleh biaya yang harus mereka bayar untuk mengikuti program pendidikan. Anak-anak putus sekolah diusia dini menyebabkan timbulnya pekerja anak, sisanya menjadi pengangguran usia muda yang tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan cukup untuk bersaing di bursa tenaga kerja apalagi untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.
Fenomena memprihatinkan ini menjadi sebuah gambaran bagi perekonomian Indonesia . Keberadaan pekerja anak menjadi indikasi tingkat kemiskinan di Indonesia . Pekerjaan seringkali menyeret mereka dalam perbudakan dunia kerja yang akan mengisolasi mereka dari dunia luar, termasuk keluarga, teman dan dunia pendidikan. Kerja menyita semua waktu yang seharusnya mereka gunakan untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar, bermain, mengenyam pendidikan yang cukup untuk meningkatkan kemampuan untuk menghadapi persaingan dalam mendapatkan pekerjaan yang layak nantinya. Tidak memadainya pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh pekerja anak akan menjadi lingkaran kemiskinan dan berlanjut pada pengabaian hak bagi anak dan keluarganya. Keadaan ini berpengaruh pada pembangunan dan menimbulkan kerugian bagi negara dengan hilangnya satu sumber daya paling penting yaitu Sumber Daya Manusia.
Meskipun anak yang bekerja mampu menghasilkan pendapatan dan mempertahankan kehidupan keluarga, namun tetap tidak akan membuat anak tersebut lepas dari lingkar kemiskinan, sebab pendapatan yang mereka peroleh tidak akan cukup untuk mencapai kehidupan yang layak dikarenakan keterbatasan pengetahuan dan kemampuan mereka. Pendidikanlah yang bisa mengeluarkan mereka dari keterpurukan.
Masa paling penting untuk pembentukan manusia yang berkompeten adalah masa kanak-kanak dan remaja. Pendidikan yang cukup diperoleh pada masa ini akan menjanjikan pekerjaan yang layak nantinya. Pekerjaan yang layak memungkinkan setiap anak mendapatkan kehidupan yang nyaman dan perlindungan terhadap hak-hak azasi sepanjang hidupnya. Bila pendidikan tersebut tidak diperoleh dengan utuh, maka kemungkinan yang akan timbul adalah pekerja yang miskin akan pengetahuan dan kemampuan yang pada akhirnya tidak akan membawa mereka dan keluarganya keluar dari garis kemiskinan. Mereka juga tidak akan mampu memberikan pendidikan yang cukup bagi anak mereka karena terdapat kecenderungan bahwa anak yang putus sekolah juga memiliki orangtua yang juga tidak menyelesaikan pendidikannya, yang pada akhirnya akan menghambat laju pembangunan nasional.
Terlepas dari fungsi pendidikan sebagai pendorong pembangunan nasional sebuah negara, kita harus ingat bahwa pendidikan adalah hak dasar setiap anak. Negara melalui Undang-undang No 23 Tahun 2002 dengan jelas telah mencantumkan hak setiap anak untuk memperoleh pendidikan pada (Bab III, Pasal 9, Ayat 1), “ Setiap anak berhak mempero;eh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. ”
Akses terhadap pendidikan dasar gratis bagi masyarakat adalah tugas mendesak untuk dilakukan negara. Dari hasil survey International Labour Organization (ILO) yang dilakukan dibeberapa wilayah Indonesia pada awal tahun 2006 mengenai sikap orang tua tentang pendidikan, 92 % responden orang tua menganggap pendidikan sangat penting untuk masa depan anak mereka, oleh karena itu mereka bersedia membayar dan bahkan berjuang agar anak-anak mereka mendapatkan hal itu. Tetapi mereka tidak mau menyumbang untuk fasilitas sekolah (mereka berasumsi bahwa uang sekolah termasuk ke dalam kategori fasilitas sekolah juga).
Adanya pandangan positif yang diberikan masyarakat terhadap kualitas pendidikan dan kesediaan mereka mendukung sekolah harusnya menjadikan pekerjaan negara sedikit menjadi lebih mudah. Kesadaran akan pentingnya pendidikan dengan pengadaan pendidikan gratis bagi masyarakat akan meminimalkan timbulnya anak putus sekolah dan keterlibatan anak bekerja di usia dini. Pendidikan yang cukup memberikan bekal bagi anak memperoleh pekerjaan yang layak bagi dirinya dan keluarganya, yang pada akhirnya menyumbangkan peningkatan pembangunan perekonomian negara.


Oleh : Endang Ekawaty

Thursday, January 11, 2007

Konsep Kerja Bagi Anak


Artikel ini menarik karena memiliki unsur ironi buat kita, dimana artikel ini menggiring kita pada pemikiran bahwa konvensi -konvensi, peraturan- peraturan tentang pekerja anak seolah menguap begitu saja tatkala kita menengok tak usah terlalu jauh, ke perempatan terdekat dari tempat anda sekarang saja kita bisa melihat bahwa konsep- konsep yang dipaparkan dibawah itu patah dan hancur luluh lantak begitu saja oleh sebuah fakta,fakta dimana Nasib anak masih morat- marit, pekerja anak tersebar di segala penjuru dengan resiko yang tetap tinggi, jadi untuk apa konsep- konsep indah ini bila tanpa implementasi?


Sebagai satu konsep pekerja anak (anak sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2003 ialah seseorang yang belum berusia dibawah 18 tahun termasuk anak yang masih berada dalam kandungan) dapat difahami berbeda baik pada batasan usia maupun pekerjaan yang boleh dan tidak dilakukan anak-anak. Perbedaan lingkungan sosial atau budaya dan kebudayaan suatu daerah atau komunitas diantara faktor menyebabkan perbedaan tersebut ( PKPA: 2003 )

Di Indonesia, kehadiran pekerja anak terlihat menonjol menjelang abad 20, ketika sektor perkebunan dan industri gula modern mulai dikembangkan oleh kolonialisme Belanda.
Namun demikian, sesungguhnya sebelum itupun di berbagai daerah pekerja anak sudah sejak lama ada. Bahkan berdasarkan studi Koentjraningrat (1969) di wilayah pedesaan, anak berumur 8 tahun ikut membantu orang tua mencari nafkah dan dianggap sebagai hal biasa, keadaan ini terus berkembang sampai sekarang. Tahun 1990-an jumlah pekerja anak disinyalir makin bertambah sebagai salah satu akibat industrialisasi yang menyebabkan terjadinya proses pemiskinan di sebagian besar masyarakat pedesaan (Bagong Suyanto: 1999)

Periode awal pembicaraan tentang kebijakan pekerja anak sering diasumsikan bahwa semua pekerjaan yang dilakukan anak dianggap membahayakan. Akan tetapi sejak pertengahan tahun 1990-an mulai muncul pemahaman pekerjaan tertentu yang dilakukan anak dapat memberikan manfaat bagi mereka karena pekerjaan tersebut dapat memberikan pengalaman, pengetahuan dan keahlian yang dibutuhkan anak untuk survive ketika mereka dewasa.
Oleh sebab itu, pekerjaan ringan yang dapat dikerjakan anak setelah pulang sekolah, magang, pekerjaan yang dilakukan anak di lahan milik orang tuanya atau pekerjaan lain yang tidak dengan tegas dimaksudkan untuk memperoleh penghasilan finansial tidak dapat dikategorikan sebagai pekerja anak. Istilah pekerja anak merujuk kepada pekerjaan yang dapat menghalangi anak bersekolah dan pekerjaan yang harus dilakukan anak dalam kondisi yang membahyakan kesehatan, fisik dan mentalnya ( Rogers & Swinnerton dalam http://www.georgetwon.edu/faculty/rogersc/Papers/exploit/pdf)
Mediha Murshed ( http://www.jia.sipa.columbia.edu// media/pdf/children_issu_cordies_essy.pdf) mengkategorikan pekerja anak yaitu:
• Apprenticeship (magang) . Banyak anak melakukan magang sebagai salah satu cara atau syarat memasuki pasar kerja dan orang tua cenderung menganggap kegiatan ini bermanfaat karena memberikan keahlian yang dibutuhkan anak untuk memperoleh kesempatan kerja sekaligus mendapat uang saku. Akan tetapi seorang anak yang melakukan magang cenderung mengalami eksploitasi karena ia tidak memiliki daya tawar dan dibayar sangat rendah

• Waged labor. Ini bisa ditemukan dalam sektor industri dan sektor informal dan biasanya lebih eksploitatif dari magang. Meski dalam konteks ini anak mendapat bayaran lebih banyak dibanding ketika ia magang, namun jenis ini juga potensial menyebabkan anak mengalami berbagai kekerasan, karena sistem kerja yang berlaku bisanya tidak memberikan perhatian khusus bagi anak dan tidak memperdulikan aspek perlindungan anak

• Bonded labor (kerja ijon) . Ini dianggap sebagai pekerjaan yang paling eksploitatif bagi anak dan biasanya terdapat pada sektor informal dan pedesaan. Dalam konteks ini anak dipaksa bekerja sebagai cara untuk membayar hutang keluarganya kepada majikan. Anak benar-benar berada dalam posisi yang serba sulit dan tidak memiliki daya tawar sama sekali.

Konvensi ILO No. 182 tentang Pelarangan dan Tindakan Segara Penghapusan Bentuk bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak mengkategorikan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak:
• Segala bentuk perbudakan atau praktek jenis perbudakan seperti penjualan dan perdagangan anak, kerja ijon ( debt bondage) , dan penghambat ( serfdom) serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pengerahan anak secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata
• Pamanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi pornografi atau untuk pertunjukan-pertunjukan porno
• Pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan terlarang, khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional yang relevan
• Pekerjaan yang sifat atau keadaan tempat dimana pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak-anak.

Adapun bentuk-bentuk pekerjaan yang membahayakan bagi anak seperti:
• Anak yang dilacurkan
• Anak yang bekerja di pertambangan
• Anak yang bekerja sebagai penyelam mutiara
• Anak yang bekerja di sektor konstruksi
• Anak yang bekerja di jermal
• Anak yang bekerja sebagai pemulung sampah
• Anak yang dilibatkan dalam produksi dan kegiatan yang menggunakan bahan peledak
• Anak yang bekerja di jalanan
• Anak yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga
• Anak yang bekerja di industri rumah tangga
• Anak yang bekerja di perkebunan
• Anak yang bekerja pada penebangan, pengolahan dan pengangkutan kayu
• Anak yang bekerja pada industri dan jenis kegiatan yang menggunakan bahan kimia yang berbahaya (ILO-IPEC, 1999)

Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 235 tahun 2003 tentang Jenis-Jenis Pekerjaan yang Membahayakan Kesehatan, Keselamatan atau Moral Anak, pekerja anak di lepas pantai atau laut dalam, di kapal serta mengangkut beban di atas 12 kg bagi anak laki-laki dianggap sebagai pekerjaan yang terburuk bagi anak
Konvensi ILO No. 138 (Disahkan Pemerintah Indonesia melalui UU No. 1 tahun 2000) mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja dinyatakan bahwa u sia minimum bagi anak untuk diperbolehkan bekerja adalah 15 tahun jika pekerjaan itu tidak menganggu kesehatan, keselamatan, pendidikan dan pertumbuhannya. Sementara usia minimum untuk diperbolehkan bekerja atau melakukan pekerjaan yang berbahaya tidak boleh kurang dari 18 tahun.
Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan, p engusaha dilarang mempekerjakan anak (Pasal 68). Ketentuan pasal 68 tersebut dikecualikan bagi anak berusia 13-15 untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosialnya. Khusus bagi anak perempuan yang berusia di bawah 18 tahun dilarang dipekerjakan antara jam 23.00-07.00 pagi. UU ini juga menegaskan p engusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan harus memenuhi persyaratan yaitu: i zin tertulis dari orang tua atau wali, perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali, waktu kerja maksimum 3 jam, dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah, keselamatan dan kesehatan kerja, adanya hubungan kerja yang jelas serta anak menerima upah sesuai ketentuan yang berlaku
Banyak faktor menyebabkan anak-anak terpaksa harus bekerja, baik untuk membantu nafkah keluarga atau untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Kemiskinan, sering dijadikan faktor penyebab. Menteri Hak Asasi Manusia dan Pembangunan Norwegia, Hilde Frafjord Johnson, dalam Konferensi Internasional mengenai Pekerja Anak di Oslo, Norwegia, Oktober 1997 mengatakan: pekerja anak tak hanya merupakan konsekuensi dari kemiskinan, tapi juga biaya dari kemiskinan itu, hingga anak tidak bisa sekolah. Tekanan terbesar menyebabkan anak bekerja di sektor membahayakan adalah kemiskinan.
Menurut pakar ekonomi, dengan mengirimkan anak memasuki pasar kerja, keluarga miskin itu tampak tidak mengikuti tingkah laku ekonomi rasional, tapi hanya memiliki sedikit alternatif. Pilihan mereka antara mempertahankan hidup jangka pendek dan perkembangan anak jangka panjang sangat terbatas. Kemiskinan lalu melahirkan buruh anak dan lalu mengabadikan kemiskinan, ketidakadilan, dan diskriminasi. Data ILO menunjukkan, secara rata-rata, anak-anak yang bekerja menyumbangkan sekitar 20-25 persen kepada pendapatan keluarga. Dalam ekonomi dunia yang nilainya mencapai 28 trilyun dollar AS setahun, lebih semilyar manusia masih hidup dengan penghasilan kurang dari satu dollar sehari. Statistik Bank dunia memperlihatkan, lebih dari 1,3 milyar manusia harus hidup dengan penghasilan kurang dari satu dollar sehari dan dua milyar lainnya secara marginal berada pada kondisi sedikit lebih baik. UNICEF memperkirakan, 50 persen anak di dunia berasal dari keluarga miskin. ( http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/10/27/0042.html) .

Anak-anak yang masuk ke pasar kerja menjadi pekerja anak merupakan rasionalisasi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga yang dilanda kemiskinan. Konstalansi ini menjadi legitimasi mempekerjakan anak-anak, bahkan dengan pekerjaan yang eksploitatif, upah murah dan pekerjaan yang berbahaya (Muhammad Jhoni, 1997). Keadaan pekerja anak ini dilematis, disatu sisi anak-anak bekerja untuk memberikan konstribusi pendapatan keluarga namun mereka rentan dengan eksploitasi dan perlakuan salah. Pada kenyataannya sulit untuk memisahkan antara partisipasi anak dengan eksploitasi anak (Irwanto, 1995).
Pekerja anak, dengan demikian, walaupun masih teramat sulit untuk dihapuskan di Indonesia tapi bukan berarti kita bersikap membiarkan atau malah turut memberikan konstribusi secara langsung tidak langsung bagi bertambahnya jumlah anak-anak yang bekerja terutama di sektor-sektor yang terburuk bagi anak. Pekerja anak adalah masalah besar yang ada di sekitar kita sehingga partisipasi semua pihak sangat dituntut untuk terlibat dalam upaya-upaya yang mungkin dilakukannya untuk mencegah dan menanggulanginya. Bersama kita bisa dan bersama kita untuk mencegah dan melindungi anak-anak dari pekerjaan yang membahayakan fisik, mental, kesehatan serta masa depannya, karena masa depan yang kita berikan kepada anak haruslah masa depan yang cerah (Sumber: Jermal Kaji Ulang: PKPA: 2003)

Tuesday, January 9, 2007

Sepatu

Sepatu…sepasang benda yang menyelimuti kaki, hanya itukah?
Sebagian orang mengatakan ya!, sebagian lainnya bilang, more than to covering your feet but its part of fashion, penunjang penampilan, lamabang kesuksesan, supply kepercayaan diri, sumber kenyamanan dan bahkan seorang teman (olivia…lip, gw pinjem istilah lu yak) sepatu adalah investasi…lho kok?
Rame ya pendapat orang tentang sepatu…
Bagi saya sendiri sepatu adalah benda yang memiliki daya magis tertentu dan selalu memaksa saya untuk merogoh kocek untuk membelinya, konsumtif ya?
Entah kenapa saya begitu tertarik kepada sepatu, saya sangat gila untuk memakai sepatu indah dan nyaman. Walau kegilaan saya ini masih dalam garis normal ya, dalam artian saya engga pernah sampai tersirep untuk mengeluarkan kocek jutaan demi memperoleh sepatu idaman.
Sepatu sebagai penunjang penampilan, iya saya setuju, karena saya sebagai orang yang suka me-matching- matchingkan pakaian (konsumtif lagi gak sih?), sangat merasa perlu sepatu yang sepadan dengan tas yang dikenakan. Ada orange day, black white day, blue day , green day, etc. Itu adalah kreasi saya menyemarakkan hari- hari saya. Diharapkan dengan mengambil tema warna setiap hari yang diwakili dari pakaian, sepatu dan tas saya berharap ada energi berbeda dan semangat berbeda pula yang dipancarkan dari warna- warna pilihan saya hari itu.
Dan sepatu adalah salah satu unsur penting dari semua itu.
Saking cintanya saya pada sepatu, mertua saya pernah bilang kalo saya itu replika-nya Imelda Marcos, oh damn….im not lah ya, im still realistics!

Cerita soal kecintaan saya sama sepatu, saya sampai pernah menyimpan sepatu kesayangan saya yang sudah rusak, entah untuk apa, yang pasti masih senang saja memandanginya. Ada 2 sepatu yang pernah saya perlakukan istimewa seperti itu, keduanya bukan sepatu mahal yang harganya jutaan, mereka hanyalah sepatu dari kelas biasa namun memiliki karakter yang unik mungkin sebagian teman mengatakan kalau sepatu- sepatu itu “erroy banget!!!”dan kedua sepatu itu pernah memberikan pengalaman unik buat saya.

Sepatu pertama adalah sepatu pantofel kulit berpotongan mocasin yang saya beli di Butik Linea, saya pakai ke kampus untuk menimbulkan sensasi semangat baru kalau lagi jenuh. Sepatu ini bahannya kulit, warnanya hitam, potongannya sangat ramping dan sangat elegan. Sepatu tersebut selalu saya padankan dengan tas bergaya post man bag sporty besar berwarna senada, cool….Sepatu itu sempat mendapat pujian dari teman- teman, “modis dan lucu banget” kata mereka. Mungkin karena bentuknya yang khas, yaitu berujung lancip ala sepatu aladin (walau lancipnya engga sampai menikung ke atas yah…).
Sepatu ini punya sejarah khusus untuk saya, si lancip manis ini pernah memompa kepercayaan diri saya saat saya ber-orasi mendukung pemilihan Ketua BEM periode 2002-2003, belive it or not, saat saya sedang mempersiapkan orasi saya menatap sepatu manis saya itu lalu ada semacam kekuatan berupa kepercayaan diri mengalir ke diri saya, magis banget, tapi nyata…
Sepatu lainnya yang berkesan di hati saya adalah sepatu fantofel ramping model moccasin juga, bermotif lurik hitam putih, sepatu itu sudah tamat riwayatnya 3 tahun lalu, namun pasangan sepatu itu (handbag warna senada, merk sama, dibeli di butik sama), masih setia terpajang di lemari saya. Sepatu itu sempat membuat saya dikejar sama turis Jepang di hingga masuk lift just only want to ask to me, “where did you buy that shoes?”
Selain itu, saya punya sejarah khusus lainnya dalam sepatu itu, saat saya mengadakan event tahunan “Law at the Mall”, saya mulai panic karena salah satu bintang tamu yaitu Indra Bekti belum kunjung datang, saya udah bolak balik call beliau “De, dimana lu?”, “De, masih lama gak?”, bolak balik stress sampai saya terduduk cemas lalu menunduk ke bawah dan tak sengaja menatap sepatu cantik hitam putih saya, lalu saya pun lamat- lamat mengagumi kecantikan sepatu saya itu, bengong sambil senyum- senyum melihat kaki saya yang terbalut benda cantik itu, sampai tiba- tiba terdengar “Maapin gw Roy, telat banget yah…” Indraaaaaaaaaaa Bektiiiiiiiiii!!!!
Fuih….lega banget, namun saat suara khas si Indra membuyarkan lamunan saya saat itu, sebenarnya saya tengah terhipnotis sama sepatu saya itu, jadi setidaknya rasa cemas itu telah lenyap perlahan.

Kedua sepatu itu setelah 2 tahun tergolek tak berdaya di kotak-nya masing- masing karena alas-nya yang sudah rusak dan tidak mampu diperbaiki, akhirnya saya buang juga ke tukang sampah keliling. Sebelumnya saya sempat berniat untuk menguburnya, namun Tori buru- buru menjitak kepala saya dan bilang “please realistis deh…”
Akhirnya dengan berat hati saya merelakan sepatu kesayangan saya menumpang gerobak sampah dan entah apa nasib sepatu bersejarah saya itu selanjutnya…Kemungkinan terbesar sih di daur ulang, yah setidaknya mereka kembali bermanfaat lah setelah beberapa tahun memberi makna buat saya, menyamankan kaki saya dan setia saya injak untuk menjadi bantalan kaki saya.

See?sepatu means a lot for me!ini nyata loh, ini truth happened loh in my life, I love shoes more than another things, I love shoes ‘cause its have magical power for me, I love shoes deh pokoknya…

Televisi Teman atau Lawan?

Seiring dengan berjalannya waktu, berkembangnya teknologi dan ragam kepentingan dan kebutuhan masyarakat, televisi saat ini telah menjelma menjadi sosok penghibur, pemberi informasi, media komunikasi, media pemasaran dan media aktualisasi.
Tak luput dari itu semua ternyata televisi, memiliki satu karakter yang cukup berbahaya yaitu merupakan media kapitalisme. Melalui televisi, semua orang seolah diajak untuk berfikir mengedepankan materi, dari tidak tau produk brand A menjadi tau, dari sekedar menggunakan produk B menjadi tau produk sejenis produk B lainnya yang lebih ini dan itu-nya dari produk B. Dari tidak berniat mencicipi masakan jenis C jadi tertarik untuk mencoba, dan segala macam dari gak butuh menjadi butuh, dari engga ingin jadi ingin banget…
Itulah televisi, punya daya tarik magis yang sangat evektif untuk mengajak kita menjadi konsumtif. Seolah hal ini mewabah dan bahkan masyarakat kebanyakan pun menyadari dengan pasti adanya wabah ini, kadang sering kita dengar istilah “korban iklan”, "korban sinetron" yang sering jadi gurauan atau sindiran pada percakapan masyarakat umum. Berarti dapat ditarik kesimpulan bahwa secara sadar masyarakat aware adanya wabah yang ditimbulkan oleh televisi ini.
Wabah konsumtif ini juga dipicu dengan adanya tayangan- tayangan yang merekomendasikan tempat makan tertentu, barang- barang mewah, mobil- mobil keluaran baru dan lainnya yang bersifat ajakan untuk membeli sesuatu yang lebih menarik, lebih canggih, lebih memuaskan dan lainnya, namun intinya adalah strategi pemasaran bagi produsen dan penyuntikan pola konsumtif bagi pemirsa televisi. Untuk hal ini saya masih merasa nowhere untuk menyalahkan siapa yang salah apabila pola konsumerisme melaju semakin kencangnya saat ini.
Mau menyalahkan produsen, yang jelas tujuan utamanya adalah mencari keuntungan? ataukah menyalahkan penonton televisi? Sebaiknya mengambil jalan tengah dengan meletakkan semuanya dalam posisi normal, sepanjang yang dilakukan oleh para produsen tidak menyalahi norma- norma kemasyarakatan maupun keagamaan serta tidak mengajak masyarakat menuju kebatilan, so why not?tinggal pintar- pintarlah penonton mencerna mana yang perlu ia konsumsi dan ikuti mana yang tidak.

Namun yang menjadi masalah belakangan ini adalah gerak laju kapitalisme kaum pengusaha ini berlari terlalu kencang, sehingga tidak lagi berjalan sesuai dengan persyaratan jalan tengah yang saya sebut diatas. Mereka cenderung mematahkan norma- norma yang ada, dengan alasan adanya perubahan jamanlah, kebutuhan masyarakat akan realitaslah, sampai- sampai menggunakan senjata kebebasan seni sebagai alasan mendasar.

Saat ini tayangan televisi semakin gamblang dan transparan memaparkan fakta dan data, yang terlihat saking begitu transparan-nya sampai tidak mengindahkan kepentingan kelompok tertentu, dalam hal ini adalah anak- anak.
Gaya lari ngejar setoran ala kaum kapitalis ini, melaju kencang tanpa memikirkan dampak pada anak- anak. Pada tayangan kartun yang selama ini notabene-nya adalah tayangan untuk anak, ternyata banyak yang menyajikan adegan kekerasan bahkan nyerempet ke pornografi dan akhlak, let say kartun Shin chan, kita semua sependapat kalau tokoh Shin Chan itu sama sekali tidak mendidik, apakah wajar seorang anak TK mengintip rok gurunya?apakah wajar seorang anak TK suka meniru kebiasaan percintaan ayah dan ibunya?
Lalu tayangan sinetron remaja (SD, SMP dan SMA) yang ditayangkan petang dan kemungkinan masih jutaan pasang mata anak- anak sedang memelototi televisi, sementara tayangan sinetron itu bukan cuma menggambarkan, menurut saya ya, tapi juga memprovokasi anak- anak untuk bertindak amoral, let say, anak SMP pacaran trus cium- ciuman (maaf ya kasar kedengerannya soalnya gak dapet padanan kata lain yang cukup manis-red), trus penggambaran persaingan remaja putri memperebutkan cowok menggunakan cara- cara kekerasan, acara talk show ataupun komedi situasi yang menggunakan joke- joke sex yang vulgar, dan parahnya tayangan kekerasan kelas berat kayak smack down gampang saja dipertontonkan di jam rentan tersebut, dengan alasan rating tinggi, tanpa mengindahkan dampak gila yang ditimbulkannya.
Tragedi smack down yang cukup banyak menelan korban belakangan ini, semestinya menjadi pelajaran buat kita untuk lebih kritis berteriak kepada pemerintah supaya menjewer para pemain di industri pertelevisian untuk kembali ke jalur bisnis normal.
Saya lagi berfikir, mau sebanyak apa lagi korban yang jatuh karena tayangan televisi kalau kita tidak cermat, jikalaupun kita telah cermat mungkinkah anak- anak kita bisa tetap selamat dari bahaya wabah televisi? Toh pada tragedy smack down banyak anak yang orang tuanya telah cermat untuk melarang tayangan smack down dirumahnaya tetap saja menjadi korbannya.
Jadi tidak menutup kemungkinan apabila kita dan anak- anak kita telah kita cermati, dalam kehidupan sosial diluar rumah tetap saja bisa menjadi korban.

Maka pilihan semakin sulit bagi kita, namapaknya tak ada pilihan lain selain mendorong pemerintah untuk menertibkan industri pertelevisian agar kembali berjalan dengan tertib tanpa menyerempet merusak kepentingan lainnya apalagi menyerempet kepentingan perkembangan moral bangsa.

Dengan ragam informasi yang ditayangkan televisi yang tujuan mulia awalanya adalah untuk membuka cakrawala pemikiran penonton, namun belakangan ini semakin tidak relevan, mungkin sekarang bukan sebagai pembuka cakrawala julukan yang tepat untuk tujuan televisi tetapi pembuka pintu petaka belaka.
Jadi televisi teman atau lawan sih sebenarnya?

Jangan Jadi Gelas



Seorang guru sufi mendatangi seorang muridnya ketika wajahnyabelakangan ini selalu tampak murung.

"Kenapa kau selalu murung, nak? Bukankah banyak hal yang indah didunia ini? Ke mana perginya wajah bersyukurmu? " sang Guru bertanya.

"Guru, belakangan ini hidup saya penuh masalah. Sulit bagi saya untuktersenyum. Masalah datang seperti tak ada habis-habisnya, " jawab sangmurid muda.

Sang Guru terkekeh. "Nak, ambil segelas air dan dua genggam garam.Bawalah kemari. Biar kuperbaiki suasana hatimu itu.

"Si murid pun beranjak pelan tanpa semangat. Ia laksanakan permintaangurunya itu, lalu kembali lagi membawa gelas dan garam sebagaimanayang diminta.

"Coba ambil segenggam garam, dan masukkan ke segelas air itu," kataSang Guru. "Setelah itu coba kau minum airnya sedikit.

"Si murid pun melakukannya. Wajahnya kini meringis karena meminum airasin.

"Bagaimana rasanya?" tanya Sang Guru.

"Asin, dan perutku jadi mual," jawab si murid dengan wajah yang masihmeringis.

Sang Guru terkekeh-kekeh melihat wajah muridnya yang meringiskeasinan."Sekarang kau ikut aku."

Sang Guru membawa muridnya ke danau di dekat tempat mereka.

"Ambil garam yang tersisa, dan tebarkan ke danau."

Si murid menebarkan segenggam garam yang tersisa ke danau, tanpabicara.

Rasa asin di mulutnya belum hilang. Ia ingin meludahkan rasa asin dari mulutnya, tapi tak dilakukannya. Rasanya tak sopan meludah di hadapan mursyid, begitu pikirnya.

"Sekarang, coba kau minum air danau itu," kata Sang Guru sambil mencari batu yang cukup datar untuk didudukinya, tepat di pinggir danau.

Si murid menangkupkan kedua tangannya, mengambil air danau, danmembawanya ke mulutnya lalu meneguknya.

Ketika air danau yang dingindan segar mengalir di tenggorokannya, Sang Guru bertanyakepadanya, "Bagaimana rasanya?"

"Segar, segar sekali," kata si murid sambil mengelap bibirnya dengan punggung tangannya. Tentu saja, danau ini berasal dari aliran sumberair di atas sana . Dan airnya mengalir menjadi sungai kecil di bawah.Dan sudah pasti, air danau ini juga menghilangkan rasa asin yangtersisa di mulutnya.

"Terasakah rasa garam yang kau tebarkan tadi?"

"Tidak sama sekali," kata si murid sambil mengambil air danmeminumnya lagi.

Sang Guru hanya tersenyum memperhatikannya,membiarkan muridnya itu meminum air danau sampai puas.

"Nak," kata Sang Guru setelah muridnya selesai minum. "Segala masalahdalam hidup itu seperti segenggam garam. Tidak kurang, tidak lebih.Hanya segenggam garam. Banyaknya masalah dan penderitaan yang haruskau alami sepanjang kehidupanmu itu sudah dikadar oleh Allah, sesuaiuntuk dirimu. Jumlahnya tetap, segitu-segitu saja, tidak berkurangdan tidak bertambah. Setiap manusia yang lahir ke dunia ini pundemikian. Tidak ada satu pun manusia, walaupun dia seorang Nabi, yangbebas dari penderitaan dan masalah."Si murid terdiam, mendengarkan."Tapi Nak, rasa `asin' dari penderitaan yang dialami itu sangat tergantung dari besarnya 'qalbu'(hati) yang menampungnya.

Jadi Nak,supaya tidak merasa menderita, berhentilah jadi gelas. Jadikan qalbudalam dadamu itu jadi sebesar danau."

Thursday, January 4, 2007

Selamat Datang Tahun Baru 2007

Telat ya?saya udah telat ya untuk ngucapin selamat tahun baru?mungkin enggak yah, soalnya inikan baru hari keempat di tahun 2007.
Begitu banyak cerita indah yang telah kita lewati di tahun 2006, tapi jangan lupa masih banyak PR dari tahun 2005 yang juga belum mampu kita selesaikan, ditambah lagi PR kita dari tahun 2006.Bencana- bencana alam yang masih menyisakan PR rekonstruksi, bahkan special case seperti Lumpur lapindo seolah unsolution bagi kita, belum lagi kasus demi kasus moralitas yang mendesak kita terus kerja keras untuk memperbaikinya sebelum menimbulkan efek domino bagi anak- anak bangsa, kasus- kasus korupsi yang tiada habisnya, peredaran Narkoba yang seolah tak terkejar, masalah perekonomian kita yang begitu morat- maritnya, dan segudang masalah bangsa lainnya yang menggedor nurani kita, kadang saya hanya bertanya akankah mampu kita selesaikan semua permasalahan ini?
Dengan berbekal Bismillah dan keteguhan hati, saya yakin kita mampu..., semoga saja Allah masih mengulurkan tangannya dibalik cobaan berat ini..., amien.

Hmmmh...setelah lelah dengan memikirkan kemungkinan kebangkitan bangsa, pada malam tahun baru lalu, saya dan suami memutuskan untuk menghadiri perayaan menyambut tahun baru di kediaman keluarga Om Rantauan janim di Bukit Sentul, bersama Gank 13 meski engga kumpul semua, saya merasa begitu rileks dan bahagia, suatu permulaan yang cukup baik saya rasa untuk memulai lembar baru di tahun 2007 dan semoga kebahagiaan malam itu akan mentransfer energi bagi saya untuk terus memperbaiki diri, amien...
Selamat Tahun Baru ya blogers...

Musibah Jatuhnya Pesawat Adam Air


Ini hari ke empat dari terjadinya bencana hilangnya pesawat Adam Air tujuan Manado, sampai hari ini belum ada kejelasan apakah pesawat naas tersebut jatuh ke laut, kehutan ataukah jangan- jangan meledak di udara?

Situasi sulit ini dipicu dengan terjadinya berita yang cukup simpang siur, kemarin dikabarkan ada 12 orang penumpang yang selamat, setelah dilakukan konferensi pers dan berita tersebut telah meluas tiba- tiba terjadi lagi konfirmasi bahwa berita itu tidak benar, how come?

Memalukan sekaligus menyedihkan, koordinasi macam apa yang terjadi disana disaat situasi penuh duka dan pengharapan ini?

Pencarian terasa begitu sulit, karena pesawat naas tersebut seolah hilang tanpa jejak. Bila jatuh kelaut mengapa tak sedikitpun ada tanda- tanda apungan barang dan deteksi benda logam?

Kalaupun meledak di udara, apa mungkin tak berbekas sama sekali?

Dan kalaupun jatuh di hutan atau pegunungan, mengapa begitu sulitnya dicari padahal armada pencarian telah dikerahkan melalui udara dan daratan.

Rasanya masalah ini membuat kita semua berharap- harap cemas, kemudian kecemasan itu membuat kita melupakan bagaimana bisa terjadinya musibah ini.

Dari beberapa situs berita, disebutkan bahwa pesawat ini telah mengalami masalah 48 jam sebelum terjadi kecelakaan misterius ini. Namun yang patut dipertanyakan, mengapa pesawat yang jelas tidak "fit" masih tetap dipergunakan dalam rentang waktu yang tak berjauhan?bagaimanakah kita dapat mempercayai bagian engine pesawat dapat dengan begitu mudah dan cepatnya menyelesaikan perbaikan pesawat yang telah menelantarkan ratusan penumpang beberapa jam sebelumnya, kemudian pesawat naas itu kembali harus terbang dengan jarak tempuh yang cukup jauh?

Dari hal semacam ini kita bisa menyimpulkan jika pihak Adam Air tidak memiliki tanggung jawab terhadap keselamatan penumpang, seolah nyawa ratusan penumpang dengan begitu mudahnya di pertaruhkan di atas ribuan kaki diatas tanah hanya demi keuntungan pihak perusahaan?

Saya cuma berharap hal ini menjadi teguran keras kalau perlu dianggap tamparan keras bagi semua airlines di Indonesia dan semoga pihak terkait bisa lebih concern terhadap standar "kesehatan" sebuah pesawat untuk terbang.

Semoga juga pemerintah menindak tegas pihak Adam Air dalam masalah ini.

Untuk semua korban, saya masih terus berdoa semoga ada mukjizat yang akan menyelamatkan mereka.

Serta untuk segenap keluarga korban, saya berdoa semoga diberi ketegaran dan ketabahan menghadapi cobaan ini.

Tuesday, January 2, 2007

Kawin Sirri


Menanggapi banyaknya praktik poligami yang dijalankan tanpa melalui prosedur yang dianjurkan oleh UUP no. 1 tahun 1974, maka istilah Kawin Sirri adalah hal yang sering kali disebut- sebut. Kawin Sirri sendiri banyak dilakukan oleh pasangan yang juga tidak ada kaitannya dengan urusan poligami, lantas kenapa Kawin Sirri menjadi pilihan mereka?


Itulah yang patut dipertanyakan, kenapa banyak wanita yang memilih menjalankan perkawinan semacam ini, padahal secara hukum perempuan yang terikat dalam perkawinan yang sifatnya sirri tidak mendapatkan perlindungan hukum.

Lantas bagaimana secara agama?apakah agama Islam mensyahkan perkawinan yang dilakukan seperti ini?

Dalam sebuah situs Islam, saya berhasil menemukan jawaban akan pandangan Islam terhadap Kawin Sirri itu sendiri, semoga bisa memberikan pencerahan tentang tidak dianjurkannya sebuah pernikahan yang dijalankan secara sirri.
Kawin Sirri
Menikah dan membina rumah tangga merupakan keinginan semua orang. Sudah tentu yang diharapkan adalah hubungan yang harmonis, saling percaya, saling melindungi, dan saling mendukung. Mitsaqan ghalidan (perjanjian yang amat kokoh), demikianlah al-Qur’an menggambarkan hubungan pernikahan antara pasangan suami istri.

Istilah ini memberikan sinyal bahwa hubungan suami istri harus dibina dalam suatu hubungan dua arah yang saling menguatkan. Satu pihak menjadi pendukung dari yang lain, dan tidak ada satu pihak pun yang dirugikan atau hak-haknya terancam.Dalam rangka itulah, untuk mewujudkan sebuah keluarga yang benar-benar menggambarkan Mitsaqan ghalidan, agama membuat beberapa aturan dalam pernikahan. Dan hal itu dimulai sejak proses pertama kali lembaga perkawinan terbentuk, yakni pada saat berlangsungnya akad nikah. Diwajibkannya seorang wali dan dua orang saksi merupakan suatu tindakan preventif (pencegahan) untuk melindungi kedua mempelai, terutama si perempuan, bila di kemudian hari ada batu sandungan yang tidak diinginkan muncul dalam bahtera perkawinan mereka.

Nabi Muhammad shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda dalam sebuah Hadis:Artinya: Dari Aisyah RA, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil” (HR. Daruquthni)
Dalam konteks kekinian, khususnya di Indonesia, aturan itu ditambah lagi dengan kewajiban untuk mencatatkan perkawinan itu ke Kantor Urusan Agama (KUA), dengan maksud agar kedua pasangan itu mendapat “payung hukum” jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari.

Apabila dalam mengarungi kehidupan berrumah tangga terdapat persoalan, mereka mendapat bantuan dari hukum yang berlaku. Dalam istilah ushul fiqh, kebijakan ini disebut dengan mashlahah mursalah, yakni suatu ketentuan yang tidak diatur dalam agama (fiqh) tetapi tidak bertentangan dengan hukum yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadis. Artinya, kewajiban mencatatkan perkawinan di KUA tidak pernah diatur dalam fiqh, namun semangat dari aturan itu tidak bertentangan, bahkan sejalan dengan diwajibkannya saksi ke dalam rukun nikah.Kaitannya dengan nikah sirri (dikenal juga nikah di bawah tangan), ada dua pengertian yang terkait dengan istilah ini. Pertama, nikah sirri yang didefinisikan dalam fiqh, yakni nikah yang dirahasiakan dan hanya diketahui oleh pihak yang terkait dengan akad. Pada akad ini dua saksi, wali dan kedua mempelai diminta untuk merahasiakan pernikahan itu, dan tidak seorangpun dari mereka diperbolehkan menceritakan akad tersebut kepada orang lain. (al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, juz VII, 81).

Dari definisi pertama ini, bisa saja orang yang mencatatkan pernikahannya ke KUA disebut nikah sirri dalam pengertian fiqh jika semua pihak diminta merahasiakan pernikahan tersebut.

Kedua, nikah sirri yang dipersepsikan masyarakat, yakni pernikahan yang tidak dicatatkan secara resmi ke KUA.

Masyarakat menganggap bahwa pernikahan yang dilaksanakan walaupun tidak dirahasiakan, tetap dikatakan nikah sirri selama belum didaftarkan secara resmi ke KUA. Mengenai hukum pernikahan yang dirahasiakan, Imam Malik menyatakan pernikahan tersebut batal, sebab pernikahan itu wajib diumumkan kepada masyarakat luas. Sedangkan pendapat Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah menyatakan nikah sirri hukumnya sah, tapi makruh dilakukan. (al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz VII, hal 71, Bidayatul Mujtahid, juz II, hal 15 )Dari pendapat ulama ini, tampak ada “keberatan” dari para ulama terhadap nikah sirri. Mengingat pada prinsipnya, Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam tidak setuju dengan pernikahan jenis ini. Dalam hadis disebutkan:Dari Amr bin Yahya al-Mazini, Sesungguhnya Rasulullah SAW tidak senang pada nikah sirri, sehingga pernikahan itu dirayakan dengan tabuhan rebana” (HR. Ahmad)
Karena itu Nabi Muhammad shallallahu ‘alihi wa sallam sangat menganjurkan untuk mengumumkan pernikahan kepada masyarakat luas, sebagaimana sabdanya:
Dari Amir bin Abdillah RA, dari ayahnya, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Umumkanlah pernikahan” (HR. Ahmad)Kenapa harus diumumkan? Di samping sebagai pemberitahuan atas berlangsungnya pernikahan, juga terkandung maksud agar masyarakat menjadi “saksi” atas adanya ikatan antara dua insan tersebut.

Masyarakat menjadi tahu bahwa sepasang insan itu telah terikat dalam perkawinan yang sah dengan segala konsekuensinya. Jika ada pihak yang melanggar komitmen pernikahan, minimal masyarakat dapat memberikan “sanksi moral” kepada pihak yang melanggar.Sedangkan hukum nikah yang tidak dicatatkan ke KUA, walaupun tetap dianggap sah menurut agama karena telah memenuhi syarat dan rukun nikah, namun perkawinan di bawah tangan ini masih menyisakan beberapa persoalan, setidaknya orang tersebut dianggap telah berdosa karena mengabaikan perintah al-Qur’an untuk mengikuti aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah (ulil amri), sebagaimana firman Allah SWT:
“Wahai orang-orang yang beriman, patuhlah kamu sekalian kepada Allah SWT dan patuhlah kamu kepada Rasul dan ulul amri di antara kamu” (al-Nisa’, 4: 59)
Di sisi lain, perkawinan semacam ini mengandung risiko yang besar dan sangat merugikan, terutama bagi pihak perempuan yang tidak dapat berbuat apa-apa, ketika terjadi perselisihan dalam biduk rumah tangga. Ada banyak kasus di mana seorang perempuan diterlantarkan suaminya akibat nikah sirri, tanpa tahu harus ke mana ia mencari perlindungan. Ia tidak dapat menuntut secara hukum di Pengadilan Agama, sebab tidak memiliki surat bukti pernikahan. Karena itu, demi kebaikan (mashlahah) bersama, terutama kaum perempuan, tradisi nikah sirri—dengan dua pengertian di atas—yang biasa dilakukan di tengah masyarakat tidak sejalan dengan tuntunan pernikahan menurut agama sebab berpotensi menimbulkan banyak mafsadah (dampak negatif), terutama bagi perempuan. Demikian jawaban kami, semoga dapat dipahami dan direnungkan.

Aku Ingin Mencintaimu Selamanya…….

Aku ingin mencintaimu selamanya,
Di rumah ini,
Dihatimu,
Dijiwamu…
Dan dirumah tangga ini…

Aku ingin mencintaimu selamanya,
Dengan anak-anak kita berlarian di seputar rumah,
di sekeliling hati kita,
dan di sekujur ion tubuh kita…
Dimana hanya ada aku, kamu dan malaikat2 kecil kita itu…,
Calulla dan Khalilla

Aku ingin mencintaimu selamanya…
Dengan kejujuran dan keiklasan
Untuk saling menemani dalam suka dan duka,

Aku ingin mencintaimu..
Dengan segenap cinta dan air mata
Karena aku tlah terlanjur berjanji pada sang Khalik,
Bahwa aku kan setia padamu,
Mengabdi padamu, dan
Membahagiakanmu selamanya
Diatas apun juga…

Aku ingin mencintaimu selamanya
Karena jalan hidup kita tlah menggariskan bahwa kau adalah
titipan-Nya untukku
yang harus ku bahagiakan selamanya,
kujaga, dan kucintai tanpa syarat…

Aku ingin mencintaimu selamanya…
Namun ku jujur padamu bahwa aku takkan mampu mencintaimu
apabila tlah ada bunga lain dihatimu,
Sekecil apapun…
Maafkan aku ya Allah…
Aku belum mampu meraih surgamu dengan jalan itu…


Erry Tri Merryta Riyadi
(MUC’s legal counsel room,4 Desember 2006,10:04)

Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Hmmmmh….rasanya tak ada habis- habisnya cerita tentang kekerasan terhadap anak dan perempuan terjadi di Indonesia, kadang saking hopeless-nya saya suka wondering…apakah akan ada masa dimana masalah- masalah seperti kejadian yang dipaparkan dalam artikel dibawah ini akan berakhir?
Artkel dibawah saya ambil dari sebuah situs, jujur saja saat membaca ini saya kontan merinding, sedih mengingat perempuan masih diperlakukan sedemikian buruknya. Cita- cita saya cuma ingin perempuan- perempuan ini mendapatkan bantuan sebagaimana mestinya dan ingin sekali memberikan perlindungan kepada mereka agar mereka bisa hidup tenang dan anak- anak mereka tetap hidup normal.

Dengan munculnya beberapa lembaga non pemerintah yang jug turut memperhatikan masalah ini, harusnya masalah ini dapat dikurangi sedikit demi sedikit. Pemerintah memiliki andil untuk mensosialisasikan adanya UU KDRT ini, karena masih banyak perempuan dan anak- anak yang masih belum berani melawan atas kekerasan yang menimpa mereka karena belum tau harus melakukan apa dan kemana harus meminta perlindungan. Ini adalah salah satu tugas berat kita untuk saling melindungi.



Yeni dan Warsi Simpan Kekerasan Suami sebagai Rahasia Keluarga
Oleh Heppy Ratna Sari

Sudah 17 tahun Yeni berumah tangga, asam garam pernikahan telah ia rasakan. Namun di penghujung tahun 2006 ini ia tidak bisa lagi hidup berdampingan bersama keluarganya. Tahun ini adalah tahun terberat dalam pernikahannya, ibu empat anak ini harus menelan pahit karena berulang kali dianiaya dan dihina oleh suaminya. Sambil menujukkan bekas luka di bagian mata kirinya akibat dilempar benda keras, Yeni mengatakan tidak tahu menahu penyebab hingga suaminya sering memukulnya. "Saya tidak tahu apa yang terjadi dengan suami saya, tiba-tiba saja dia sering memukul dan menghina saya, memecahkan barang-barang dan melampiaskan kemarahannya pada anak-anak. Entah ada apa, kondisi ekonomi kami baik-baik saja," katanya dengan ekspresi bingung.

Yeni mengaku telah cukup bersabar dan bertahan menghadapi ulah suaminya tersebut. Setiap malam ia hanya bisa berdoa semoga suaminya hari ini tidak memukulnya atau paling tidak ada "keajaiban" sehingga pukulan itu tidak terlalu menyakitkan dan membuatnya mati. Setiap kejadian menyakitkan yang ia terima ia abadikan dalam tulisan. Ia gambarkan semua tindakan kejam suaminya dalam catatan harian. Meski demikian ia tetap bersyukur karena luka itu hanya dideritanya dan bukan anak-anaknya. Bukan harta yang membuatnya bertahan hingga hari ini, tetapi pengabdiannya kepada keluarga. Ia mengatakan kebahagiaan seorang ibu adalah melihat anak-anak mereka tumbuh sehat, ceria dan mampu meraih cita-cita mereka. "Saya sudah meminta izin pada anak-anak dan mereka menyetujui jika saya bercerai. Saya tahu mereka juga terluka untuk itu saya minta maaf," kata Yeni, yang proses perceraiannya kini sedang berjalan.

Hal yang sama juga menimpa Warsi, wanita paruh baya yang selalu ramah kepada semua orang ini ternyata juga menyimpan trauma terhadap pasangannya. Selama kurang lebih 20 tahun ia hidup bersama pria yang tak segan memukulnya. Sebagai ibu yang tidak bekerja, Warsi menggantungkan hidup pada suami yang juga berpenghasilan pas-pasan. "Saat tidur, saya selalu menyembunyikan botol di bawah bantal, kalau-kalau dia membekap saya maka saya bisa langsung memukulnya. Dia selalu memukul terang-terangan di depan anak-anak dalam keadaan mabuk. Bahkan tak jarang, jika anak-anak di rumah mereka membantu memukul suami saya dan menolong saya. Mereka adalah anak-anak yang berani," kata Warsi dengan senyum yang dipaksakan. Kini ia hanya bisa menyimpan traumanya sendiri, tetap tersenyum dan ceria meski masih menyimpan kekecewaan.

Enggan Melapor

Meski telah menerima tindak kekerasan dari orang terdekat mereka, kedua ibu ini enggan melaporkannya kepada pihak yang berwajib. Berbagai alasan menghambat mereka untuk bertindak tegas salah satunya adalah tidak ingin memperpanjang masalah. Bagi mereka, memperpanjang masalah sama dengan lebih menyakiti anak-anak dan menyebarluaskan aib mereka pada masyarakat. "Saya tidak ingin masalah ini menjadi besar dengan melaporkannya ke polisi atau dengan visum. Kalau suami dipanggil maka masalahnya akan semakin panjang dan saya tidak mau itu. Lebih baik meminta cerai langsung tanpa harus bertemu lagi dengan dia," kata Yeni.

Meski ia mengaku telah mendapatkan dukungan dari warga sekitar tempat ia tinggal untuk melapor, namun Yeni tetap berpegang teguh pada pendiriannya. Menurutnya, akan lebih menyakitakn jika ayah anak-anak dipenjara, maka demi menjaga perasaan putra-putrinya ia memilih untuk menyimpannya sendiri dan bertahan. Begitu pula dengan Warsi, ia tidak bisa melaporkan suaminya karena jika si suami dipenjara maka masa depan anak-anaknya akan tidak memiliki kepastian. Anak-anak, katanya masih membutuhkan ayah mereka karena sebagian besar kebutuhan keluarga dipenuhi oleh suami. "Jika dia ditangkap lalu bagaimana dengan anak-anak, siapa yang akan membiayai hidup mereka. Maka saya harus bertahan hingga anak-anak cukup besar dan mampu membiayai hidup mereka sendiri. Setelah itu saya bercerai," katanya.

Mereka juga "tak mampu" melaporkan kasus mereka pada lembaga-lembaga non pemerintah yang ada karena pertimbangan-pertimbangan tersebut. Meski mereka sadar yang dilakukan suami mereka adalah tindak kejahatan dan dapat dikenai sanksi hukum, kedua ibu itu memilih diam dan menyelesaikan masalahnya sendiri. Ia mengatakan setiap wanita memiliki hak pembelaan terhadap dirinya.

Kekerasan dalam rumah tangga tidak dapat dicegah begitu saja karena terkait dengan pemahaman setiap orang terhadap penghargaan terhadap sesama. "Seharusnya kaum pria harus bisa menghargai wanita terlebih lagi setelah berumah tangga. Tetapi buktinya `penghargaan` itu masih belum sepenuhnya ada. Wanita telah diidentikkan sebagai kaum lemah," katanya. Jika penghargaan itu ada dan terpelihara maka kejadian kekerasan dalam rumah tangga dapat dihindari.

Bantuan Hukum

Sebagai seorang ibu rumah tangga yang tidak memiliki pekerjaan utama dan menggantungkan hidup pada suami, mereka tidak memiliki keberanian untuk dengan cepat memutuskan ikatan rumah tangga akibat kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi. Ada ketakutan soal hidup mereka setelah lepas dari suami, apakah akan segera mendapat pekerjaan, sedangkan usia mereka kurang produktif untuk bekerja. Namun ketakutan itu tidak lagi dihiraukan seiring dengan makin menipisnya kesabaran. Setelah berhasil memantapkan hati untuk lepas dari kekerasan suami, mereka masih harus terlibat masalah baru. "Saya hanya ibu rumah tangga yang tidak bekerja dan tidak memiliki tabungan pribadi.

Ketika saya telah mantap bercerai, masalah yang harus dihadapi tidak kalah rumit yaitu biaya jasa pengacara," kata Yeni. Menurutnya ia telah meminta bantuan sejumlah pengacara, namun mereka mematok harga yang tinggi sehingga Yeni terpaksa mengurungkan niatnya. Untuk itu ia mendatangi sebuah Lembaga Bantuan Hukum untuk berkonsultasi dan meminta bantuan keringanan biaya pengacara. Ia tidak berharap banyak akan ada bantuan dari pemerintah maupun dari lembaga, ia hanya berharap ada sedikit "belas kasihan" dari para penegak hukum untuk meringankan bebannya. "Saya tahu pemerintah juga banyak masalah yang harus dibereskan, apalah artinya saya dibandingkan dengan masalah negara. Saya hanya bisa berdoa semoga Tuhan mau mengulurkan tangannya melalui tangan yang lain sehingga beban ini terasa lebih ringan," ujar Yeni.

Kini makin banyak lembaga non pemerintah yang bergerak dalam perjuangan hak asasi manusia terutama perempuan. Keberadaan mereka adalah untuk memperjuangkan hak wanita yang tertindas. Namun keberadaan lembaga ini dan undang-undang no 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) masih belum cukup untuk menghentikan kekerasan terhadap wanita. Dalam undang-undang itu disebutkan pelaku kekerasan fisik dikenakan pidana penjara 5-15 tahun atau denda Rp15-Rp45 juta. Pelaku kekerasan psikis dikenakan pidana penjara paling lama tiga tahun atau denda paling banyak Rp9 juta. Sedangkan pelaku kekerasan seksual dipidana penjara paling lama 20 tahun atau denda paling banyak Rp500 juta dan untuk pelaku penelantaran rumah tangga dipidana penjara paling lama tiga tahun atau denda paling banyak Rp15 juta.

Yeni dan Warsi adalah dua contoh nyata soal kekerasan dalam rumah tangga yang masih terus terjadi, menjelang peringatan Hari Ibu. Walaupun melewati cara berbeda; Warsi menjalani proses cerai tanpa dampingan pihak lain dan Yeni melalui pendampingan LBH, mereka sama-sama lebih memilih menyimpan kenyataan pahit yang mereka jalani sebagai rahasia keluarga.Bagi berbagai kalangan, sikap dua perempuan itu merupakan cermin belum tersosialisasikannya Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.Bagi aktivis Rita Serena Kalibonso, saat ini masyarakat masih menganggap masalah KDRT masih merupakan aib bagi keluarga mereka sehingga tidak perlu dibawa ke wilayah publik. Padahal, kata dia, filosofis dari UU PKDRT itu adalah untuk mengoreksi cara pandang masyarakat itu yakni ketika dia menjadi korban KDRT, dirinya akan mendapatkan berbagai macam perlindungan hukum mulai dari pelaporan, pendampingan oleh konselor hingga ke tahap pengadilan serta perlindungan bila amanat UU PKDRT itu betul-betul dilaksanakan.(*)

Monday, January 1, 2007

Menguak Sisi Gelap Poligami



Ini merupakan artikel berikutnya yang membahas tentang poligami, diharapkan dapat memberikan gambaran kepada pembaca mengenai alasan para perempuan bergerak untuk menggugat adanya poligami. Saya ambil artikel ini hari hukumonline yang gak kalah seru memberikan pemaparan tentang sisi gelap pelaksanaan poligami oleh manusia biasa seperti kita.


Selamat membaca, semoga get new idea setelah membaca ini...





Menguak Sisi Gelap Poligami



Ada beragam modus poligami. Yang jelas dampaknya selalu menimpa perempuan dan anak-anak.
Di penghujung acara komedi yang ditayangkan sebuah stasiun televisi swasta, Senin malam (11/12), pelawak Kiwil dengan penuh percaya dirinya berucap: “Pelaku poligami itu orang-orang pilihan.”

Kiwil jelas keliru. Praktik poligami bukan monopoli tokoh tersoroh seperti Abdullah Gymnastiar, Hamzah Haz, Rhoma Irama maupun Soekarno. Poligami justru kerap dilakukan segala kalangan.

Namun, yang penting perilaku mereka ternyata acapkali melanggar hukum. Hal itu bisa disimak dari data Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH-APIK). Berdasarkan laporan LBH-APIK tahun 2003, modus pelaku poligami cukup beragam, namun hampir seluruhnya tak mengindahkan peraturan perundangan yang ada.

Modus Pelaku Poligami
Menikah di bawah tangan------ 21
Pemalsuan identitas di KUA------ 19
Nikah tanpa ijin istri pertama-----4
Memaksa mendapatkan ijin-----1
Tidak diketahui modus-----3
(Sumber: LBH-APIK Jakarta)

Syarat berpoligami tercantum dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan khusus buat Pegawai Negeri Sipil (PNS) harus juga mempertimbangkan PP No. 45 Tahun 1990 tentang Revisi PP No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS.
PAsal 4 ayat (1) UU Perkawinan menyebutkan, seorang suami yang hendak beristri lebih dari satu wajib rnengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Namun pengadilan belum tentu mengabulkan permohonan itu. Ayat (2) pasal yang sama mencantumkan tiga syarat yang harus dipenuhi: istri tidak bisa menjalankan kewajibannya, mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau sang isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Tiga syarat itu masih tak cukup. Pasal 5 ayat (1) menambahkan suami yang hendak berpoligami harus memperoleh persetujuan dari isteri pertamanya. Dia juga harus mampu menjamin keperluan hidup para istri dan anaknya. Dan, yang terpenting, dia harus berlaku adil terhadap para istri dan anaknya.
Mengenai keadilan ini, PP No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No. 1/1974 berusaha menjabarkan keadilan macam apa yang diemban oleh suami yang hendak berpoligami. Pasal 41 huruf c PP tersebut menyatakan, jika seorang suami mengajukan permohonan poligami pengadilan memeriksa penghasilan suami. Hal ini dibuktikan dengan yang surat keterangan yang ditandatangani oleh bendahara tempat sang suami bekerja atau surat keterangan pajak penghasilan, atau surat lain yang dapat diterima pengadilan. Hanya, pemeriksaan itu ujung-ujungnya dimaksudkan semata-mata untuk menelaah keadilan yang bersifat material.

Menakar Keadilan
Siti Musdah Mulya, Dosen UIN Jakarta, sepenuhnya tidak yakin kalau suami bisa berbuat adil kepada istri dan anak-anaknya. Dia mendasarkan argumennya pada Al-Quran Surat An-Nisa’ ayat 3. Di situ ada kata “al-Qisht” dan “al-‘Adl” yang bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia artinya sama-sama “keadilan”. Kesalahan dalam menerjemahkan dan menafsirkan dua kata itu berimbas sangat fatal dalam memahami poligami.

Kata “al-Qisht”, kata Musdah, berarti keadilan yang bersifat materi (kuantitatif), sedangkan “al-‘Adl” adalah keadilan yang bersifat immateri (kualitatif). “Dalam hal poligami, yang dipakai itu al-adl, bukan al-qisht. Jadi poligami itu harus adil secara immateri. Ini sangat sulit. Bahkan siapapun, kecuali nabi, tidak akan bisa mewujudkannya,” tegas Musdah.

Sementara itu, Rifyal Ka’bah punya argumen yang berseberangan dengan Musdah. Menurut hakim agung MA ini, seberapa adilnya seseorang itu bisa diketahui. “Yang mengetahui ya pengadilan,” ujar Rifyal. Ditambahkannya, keadilan memang bersifat material dan immaterial. Namun demikian, hakim dengan hati nuraninya bisa mengetahui seberapa adil seseorang. “Pepatah lama mengatakan, hakim itu kan wakil tuhan di muka bumi ini,” imbuhnya.

Terlepas dari beda pendapat mengenai keadilan dalam berpoligami, yang jelas, Pasal 31 (3) UU Perkawinan menyebutkan suami adalah kepala keluarga. Kebutuhan yang harus dipenuhi seorang suami terhadap para istri dan anaknya sungguh tidak ringan. Kebutuhan pangan (nafaqah), sandang (kiswah) dan papan (suknah) adalah yang bersifat materi. Yang immateri jauh lebih berat karena sulit dilacak parameternya. Karena itulah, suami yang ingin berpoligami cenderung mengambil jalan pintas tanpa mengindahkan peraturan perundangan yang ada.

Dampaknya Menimpa Istri dan Anak
Pasal 11 Deklarasi PBB tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan menyebutkan, kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat –atau mungkin berakibat—kesengsaraan atau penderitaan perempuan baik secara fisik, seksual atau psikologis. Termasuk ancaman dan pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik di depan umum maupun dalam kehidupan pribadi.

Merujuk pada definisi tersebut, Dewita Hayu Shinta, aktivis LBH-APIK Jakarta, secara tegas menyatakan poligami adalah bentuk kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan itu cukup beragam, dari yang tidak kentara sampai yang vulgar. Bagi Dewi “Kalau istri terpaksa memberi ijin kepada suami untuk menikah, itu saja sudah dinamakan kekerasan terhadap perempuan.”.

Dampak poligami terhadap istri pertama
Tidak diberi nafkah---------37
Tekanan psikis--------21
Penganiayaan fisik---------7
Diceraikan oleh suami--------6
Ditelantarkan suami--------23
Pisah ranjang----------11
Mendapat teror dari istri kedua--------2
(Sumber: LBH-APIK)

Lantas, bagaimana dampak poligami terhadap istri kedua, ketiga, dan seterusnya? Kekerasan terhadap mereka juga bisa terjadi sewaktu-waktu. Tak ada jaminan mereka akan selalu bernasib lebih baik dari istri pertama. Apalagi, bila pernikahan terhadap istri kedua itu dilakukan di bawah tangan.

Pernikahan di bawah tangan adalah menikah menurut ajaran agama (Islam) atau hukum adat, dan tidak merujuk pada hukum positif. Alhasil pernikahan itu tidak tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA) maupun Kantor Catatan Sipil (KCS).

Poligami seperti ini tidak menggunakan perjanjian yang kuat (mitsaqon ghalidho) karena tidak tercatat secara hukum. Apabila ditinggalkan oleh suami, istri tidak bisa menggugat suami. Kalaupun ingin menggugat cerai, penyelesaiannya diserahkan kepada pemimpin agama.
Persoalannya makin rumit kalau sampai pasangan poligami itu punya anak. Status anak mereka tidak jelas, karena untuk memperoleh kejelasan status, dibutuhkan data semacam akta kelahiran. Padahal, untuk memperoleh akta kelahiran, disyaratkan adanya akta nikah. Hal ini berimbas pada pembagian harta warisan, dimana sang anak akan kesulitan mendapatkan hak warisnya.

Lebih dari itu, istri tidak memperoleh tunjangan apabila suami meninggal, semisal asuransi. Dan, apabila suami sebagai pegawai, maka istri tidak memperoleh tunjangan perkawinan dan tunjangan pensiun suami.

Menurut Dewi Novirianti, aktivis Justice for the Poor, hal ini acap kali terjadi di pelosok tanah air. “Di Brebes, Cianjur, dan Lombok, praktik seperti ini sudah lazim. Yang kami usahakan adalah bagaimana sang anak dapat memperoleh hak-haknya,” papar Dewi.

Bambang Soetono, rekan Dewi, menambahkan, salah satu upaya terbaik adalah mengusahakan sang anak memperoleh akta kelahirannya berdasarkan garis keturuan dari sang ibu. “Di Brebes bahkan sudah ada Perda yang secara khusus mengatur hal-hal seperti ini,” tandas Bambang.

Akibatkan Perceraian
Asumsi bahwa poligami lebih berpotensi mendatangkan kehancuran rumah tangga, tampaknya sulit didebat. Karena itu, pengadilan agama terkesan cukup hati-hati dalam mengabulkan permohonan izin poligami. Tahun 2005, tercatat ada 989 permohonan izin poligami yang diajukan di pengadilan agama di seluruh Indonesia. Tak semua pengajuan itu dikabulkan. Ada 803 permohonan izin poligami yang dikabulkan. Berarti 186 lainnya ditolak. Penolakan itu, menurut Dirjen Peradilan Agama (Badilag) Wahyu Widiana, disebabkan adanya persyaratan poligami yang tak terpenuhi.

Badilag mencatat, sepanjang tahun 2005 saja perceraian yang disebabkan poligami totalnya ada 879 atau 0,6 persen dari seluruh perkara perceraian di Indonesia. Menariknya, Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Bandung merupakan PTA yang paling sering menangani perceraian yang disebabkan poligami. Di kota kembang ini, tahun 2005, terdapat 324 perkara poligami. PTA Surabaya menempati urutan kedua, jumlahnya 162 atau separuh dari jumlah perkara serupa di Bandung. Menyusul di tempat ke tiga adalah PTA Semarang. Jumlahnya 104 perkara.

Angka-angka yang berhasil dihimpun Badilag tak bisa disebut bombastis. Dan, tentu saja tidak mengagetkan. Ini karena sebagian besar poligami dilakukan tanpa melalui prosedur baku seperti yang diatur dalam UU Perkawinan. Dalam bahasa lain, dilakukan di bawah tangan. “Poligami versi ini cukup dilakukan di depan pemimpin agama tanpa terlebih dahulu meminta izin kepada pengadilan agama. Hasil pernikahan itu tak akan tercatat di KUA. Otomatis, Badilag tak punya datanya,” ujar Wahyu Widiana.

Put Your Comment Here........